JAKARTA – Bahasa isyarat sebagai bahasa utama jutaan penyandang disabilitas di Indonesia berkomunikasi dengan dunia luar didorong masuk kurikulum pendidikan untuk menciptakan ekosistem inklusif baik di lingkungan sekolah maupun fasilitas publik.
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Habib Syarief, meyakini masuknya bahasa isyarat ke dalam sistem pendidikan akan menjadi pondasi bagi lingkungan yang ramah bagi penyandang disabilitas. “Bahasa isyarat adalah sistem bahasa yang utuh dengan gramatika dan makna. Mengabaikannya sama dengan mengabaikan kemanusiaan penyandang disabilitas,” ujarnya di Jakarta, Selasa (23/12/2025).
Habib menyebut jutaan warga Indonesia hidup dengan gangguan pendengaran dan menjadikan bahasa isyarat sebagai bahasa ibu. Namun, hingga kini sistem pendidikan nasional belum secara serius mengintegrasikan bahasa isyarat dalam kurikulum umum. Tak heran banyak bermunculan kasus perundungan terhadap penyandang disabilitas.
Dia mencontohkan kasus terbaru adalah beredarnya video siaran langsung di media sosial yang menampilkan dugaan penghinaan terhadap penyandang disabilitas rungu. Dalam video tersebut, seorang pria yang diduga berprofesi sebagai guru terlihat berinteraksi dengan seorang penyandang tuna wicara dengan cara komunikasi, gestur, dan nada bicara yang dinilai publik merendahkan martabat penyandang disabilitas.
“Kasus ini bukan sekadar persoalan etika individu, tetapi mencerminkan persoalan struktural dalam sistem pendidikan dan budaya kita yang belum sepenuhnya inklusif,” kata Habib Syarief.
Dia menilai tindakan yang dianggap candaan tersebut menunjukkan rendahnya pemahaman terhadap dunia penyandang disabilitas rungu. Menurutnya, sebagai pendidik, sensitivitas, empati, dan penghormatan terhadap keberagaman merupakan nilai dasar yang tidak bisa ditawar.
Ia menegaskan bahasa isyarat merupakan hak dasar sekaligus alat utama bagi penyandang disabilitas rungu untuk berekspresi, memahami informasi, dan berpartisipasi secara setara dalam kehidupan sosial. Ketidaktahuan masyarakat terhadap bahasa isyarat, lanjutnya, menciptakan hambatan komunikasi yang mengisolasi penyandang disabilitas dari ruang publik dan pendidikan.
Menurut Habib, pengenalan bahasa isyarat di sekolah sejalan dengan penguatan kualitas pembelajaran. Selain membangun empati sosial, pembelajaran bahasa isyarat juga dapat meningkatkan fleksibilitas kognitif, kemampuan berpikir kritis, dan kecerdasan multisensori peserta didik.
Ia mencontohkan sejumlah negara seperti Swedia, Amerika Serikat, Inggris, dan Australia yang telah mengakui bahasa isyarat sebagai bahasa resmi atau pilihan di sekolah. Kebijakan tersebut dinilai mendorong lingkungan pendidikan yang lebih inklusif.
Lantaran itu Habib mendorong pemerintah bersama DPR merumuskan langkah konkret, mulai dari pengembangan kurikulum adaptif, pelatihan guru, penyediaan materi ajar, hingga kampanye kesadaran publik. Ia juga menekankan perlunya regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas untuk mengamanatkan integrasi bahasa isyarat dalam sistem pendidikan nasional. “Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, kita memiliki kewajiban moral dan konstitusional memastikan tidak ada warga negara yang tertinggal,” pungkasnya.






