JAKARTA – Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono berjanji kepada Presiden Prabowo Subianto bahwa seluruh impor garam akan dihentikan pada akhir 2027. Namun target ini dianggap terlalu lambat.
“Kenapa harus menunggu sampai 2027? Kelamaan itu. Petani garam kita sudah cukup lama menjadi korban kebijakan impor yang tidak adil. Mereka mampu memproduksi garam berkualitas jika difasilitasi dengan baik. Kita butuh keberpihakan sekarang, bukan dua tahun lagi,” tegas Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Ermarini, Selasa (3/6/2025).
Legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu berujar, masalah utama bukan pada kemampuan produksi, tetapi pada tata niaga, infrastruktur penyimpanan, dan minimnya intervensi harga yang adil dari negara.
Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi produksi garam yang tinggi, terutama di wilayah pantai utara Jawa, Nusa Tenggara, dan sebagian wilayah timur.
“Saya melihat ini bukan soal kapasitas, tapi soal keberanian politik. Pemerintah harus berani keluar dari ketergantungan terhadap impor dan memprioritaskan kedaulatan pangan, termasuk garam, mulai tahun ini,” lanjutnya.
Anggia menambahkan bahwa kebijakan peralihan selama dua tahun ke depan akan makin memperlemah posisi tawar petani garam nasional dan memperkuat dominasi importir besar. “Setiap musim panen garam, harga jatuh karena pasar dibanjiri garam impor. Ini bentuk ketidakadilan struktural,” tuturnya.
Ia mendesak pemerintah agar segera menyusun roadmap penghentian impor garam dengan target yang lebih cepat, transparan, dan melibatkan petani dalam proses penyusunannya.