Membongkar Mitos Sperma Berenang Cepat dan Sel Telur Pasrah Menunggu

JAKARTA – Gambaran sel-sel sperma berenang cepat dan saling bersaing menembus sel telur yang didambakan di garis akhir masih menjadi keyakinan umum tentang bagaimana cara pembuahan berlangsung pada manusia. Faktanya, ilmu pengetahuan menjungkirbalikkan dongeng yang diceritakan dari generasi ke generasi tersebut.

Dominasi laki-laki yang selama ini disimbolkan melalui sperma yang sangat aktif dan posisi pasif perempuan dengan sel tel yang hanya bisa diam dan menunggu semua telah terbantahkan berdasarkan bukti-bukti empirik.

“Narasi tentang ‘perlombaan sperma dan telur yang menunggu’ ini telah bertahan lama  padahal, sains telah berkali-kali membantahnya,” tulis jurnalis sains Starre Vartan dalam buku berjudul The Stronger Sex: What Science Tells Us about the Power of the Female Body, dilansir dari LiveScience, Kamis (17/7/2025).

Sudah menjadi keyakinan umum bahwa sel-sel sperma seperti pelari dalam perlombaan epik, saling bersaing untuk mencapai sel telur yang didambakan di garis akhir. Sementara itu, sel telur digambarkan menunggu dengan pasif hingga sperma tercepat berhasil menembus membran luarnya, memicu proses pembuahan.

Starre Vartan memulai penjelasan tentang kesalahan persepsi umum ini dengan ulasan tentang perbedaan mamalia dan spesies lain seperti ikan, amfibi dan reptil dalam bereproduksi. Mamalia seperti manusia memproduksi banyak sel telur lalu menyeleksi dan membuang sebagian besar, hingga hanya menyediakan satu sel telur untuk dibuahi dalam satu kali siklus. Pendapat ini perses seperti pandangan Profesor Lynnette Sievert, antropolog biologis dari University of Massachusetts, Amherst. Sang profesor bahkan menyebut siklus ini sebagai adaptasi khas mamalia. “Ini menandai pergeseran strategi reproduksi,” terangnya.

Pergeseran strategi ini menjauh dari metode reproduksi yang lebih kuno, yang masih digunakan oleh ikan, amfibi, dan sebagian besar reptil hingga saat ini. Makhluk-makhluk ini memproduksi sel telur dan sperma dalam jumlah besar secara terus-menerus sepanjang hidupnya. Betina ikan dan katak akan melepaskan massal telur ke air, sementara jantan akan melepaskan atau mengarahkan spermanya ke arah telur. Telur yang berhasil dibuahi akan berkembang — atau tidak, tergantung kondisi lingkungan, atau bahkan dimakan predator. Penyu laut dan ular bertelur ovipar pun tetap menghasilkan ratusan telur hingga usia tua.

Bagi hewan-hewan ini, reproduksi adalah permainan angka: banyak telur, banyak sperma, banyak yang dibuahi, dan hanya sedikit yang bertahan hingga dewasa. Bahkan, anak-anak yang baru menetas sering menjadi sumber makanan bagi spesies lain di ekosistemnya — semacam persembahan biologis untuk komunitas.

Desain reproduksi “lebih banyak lebih baik” ini masih digunakan oleh pria, tapi tidak oleh perempuan. “Laki-laki masih mengikuti pola ikan. Mereka masih memproduksi jutaan sperma. Mereka tidak menyaring sperma, tidak hanya mengeluarkan sperma terbaik, mereka hanya mengeluarkan semuanya, seperti ikan,” kata Sievert.

Sementara kondisi berbeda terjadi pada tubuh mamalia betina sebagaimana wanita yang memiliki mekanisme reproduksi di dalam tubuhnya sendiri, yang memungkinkan mengontrol penggunaan telur dan sperma. Hal ini berbeda dengan ikan, amfibi, dan reptil yang menyerahkan hasil reproduksi pada kondisi eksternal seperti suhu, predator, atau polusi.

Fakta: Telur Memilih Sperma

Kesimpulan bahwa telur memilih sperma adalah fakta biologis dasar yang telah ditemukan kembali berulang kali selama bertahun-tahun. Namun kuatnya narasi “sperma aktif dan telur pasif” — meski bertentangan dengan fakta — menunjukkan betapa sulitnya manusia melepaskan narasi biologis yang dibentuk oleh budaya.

Sejak medio 1980-an, ilmuwan telah menemukan telur adalah pihak yang menentukan. Dengan lapisan protein pelindung yang disebut zona pellucida, telur secara kimiawi “menangkap” sperma, mengujinya, dan kemudian menolak atau menerima DNA-nya. Gerakan sperma tidak mampu memutus satu ikatan kimia pun — namun telur bisa.

Penelitian serupa pada 1990-an menguatkan temuan ini dan kini telah diterima luas terutama di kalangan medis. Selama 20 tahun terakhir, para ilmuwan juga terus “menemukan kembali” fakta ini. Pada 2017, Quanta Magazine menerbitkan artikel tentang peneliti yang “menantang dogma lama” bahwa telur bukanlah sel yang pasif — bahkan menyebut penemuan ini sebagai hal yang “tak terduga”.

Pada 2019, majalah Universitas Virginia melaporkan hal serupa: bahwa sel telur memiliki molekul di permukaannya yang mengikat molekul pada sperma untuk memungkinkan fusi sel dan lagi-lagi disebut sebagai penemuan baru.

Artikel di Ms. Magazine tahun 2024 membahas hal ini dalam konteks karya Evelyn Fox Keller, pelopor dalam filsafat feminis ilmu pengetahuan. Salah satu temuan utama Keller adalah bahwa asumsi-asumsi yang dianggap netral dalam sains ternyata bisa sangat bias gender. Analisis sosiokultural Keller membuka jalan untuk melihat sains sebagai fenomena budaya.

Fakta bahwa peneliti dan media sains terus mengulang “penemuan” yang sama selama puluhan tahun menunjukkan betapa kuatnya narasi gender dalam budaya, dan bagaimana hal itu bisa memperlambat kemajuan sains.

Penelitian Terbaru: Telur Bisa Menarik atau Menolak Sperma

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa bukan hanya telur yang memilih sperma saat pembuahan, tapi juga bisa menarik atau menolak sperma tertentu bahkan sebelum sperma mencapai telur.

Pada 2020, ilmuwan dari Stockholm University dan University of Manchester menemukan bahwa telur melepaskan zat kimia yang dapat menarik sperma selama perjalanannya. Menariknya, tidak semua telur menarik sperma yang sama — bahkan ada telur yang lebih tertarik pada sperma pasangan yang bukan pasangannya.

Temuan ini berasal dari penelitian menggunakan sampel dari pasangan yang menjalani program bayi tabung. Para peneliti membandingkan reaksi sperma dari seorang pria terhadap cairan folikel dari pasangannya dan dari perempuan lain.

Komunikasi kimiawi antara telur dan sperma memungkinkan pilihan betina dan kecenderungan membuahi sperma dari pria tertentu. Apa kriteria pilihan telur? Belum diketahui secara pasti. Bisa jadi telur memilih sperma yang lebih berkualitas atau lebih cocok secara genetik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *