SURABAYA – Kebijakan pemerintah untuk membeli gabah petani seharga Rp6.500 per kilogram dinilai belum mampu memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan petani. Hal ini disebabkan oleh lemahnya peran Perum Bulog dalam merespons kebijakan tersebut secara efektif di lapangan.
“Bulog tak mampu merambah pasar, sehingga petani lebih memilih tengkulak,” ujar Muhammad Aras Prabowo, pengamat ekonomi dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Rabu (16/4/2025).
Pengurus Pusat GP Ansor itu menyebut ketidakmampuan ini lantaran Bulog tidak hadir secara nyata dalam kehidupan petani. Sebelum adanya intervensi dari Presiden Prabowo untuk menaikkan harga beli gabah, Bulog juga dinilai seperti menara gading yang jauh dari realitas pertanian.
“Sebelum ada instruksi Presiden agar Bulog membeli gabah petani Rp6.500 per kg, Bulog hanya seperti menara gading bagi petani. Tidak punya interaksi dengan petani,” katanya.
Aras mengatakan, selama ini Bulog lebih banyak berinteraksi dengan tengkulak, bukan dengan petani secara langsung, sehingga manfaat kebijakan tidak terasa optimal di akar rumput.
Situasi ini tercermin dari berbagai laporan di lapangan. Banyak petani masih memilih menjual gabah mereka ke tengkulak dengan harga lebih rendah, yakni sekitar Rp5.800 hingga Rp6.000 per kilogram. Hal ini terjadi karena tengkulak lebih aktif turun ke sawah dan siap membeli gabah tanpa prosedur yang rumit.
Sebagaimana diberitakan oleh media, petani di berbagai daerah mengaku belum merasakan kehadiran Bulog sebagai pembeli yang responsif. Tengkulak dinilai lebih tanggap dan memberikan kepastian pembayaran meskipun dengan harga di bawah harga acuan pemerintah.
Aras menilai fenomena ini sebagai kegagalan struktural yang harus segera direspons oleh Menteri BUMN. Ia menekankan perlunya “aktivasi Bulog” sebagai langkah strategis dan mendesak. “Bulog harus diaktivasi oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Jangan hanya jadi instrumen administratif yang menunggu perintah pusat. Bulog harus proaktif hadir di sawah, menyapa petani, dan membeli gabah langsung di tempat,” tuturnya.
Aktivasi yang dimaksud mencakup tiga aspek penting. Yaitu, proses bisnis yang langsung menyentuh petani, peningkatan kemampuan logistik dan keuangan, serta reformasi dalam pendekatan kelembagaan. Ia menegaskan bahwa selama ini Bulog hanya memperkuat posisi tengkulak melalui relasi yang eksklusif dengan jaringan perantara. Hal ini bertentangan dengan semangat pemerintahan Prabowo-Gibran yang menempatkan kedaulatan pangan sebagai prioritas nasional. Aras menegaskan, praktik ini harus diubah agar negara benar-benar berpihak pada petani.
Penting bagi pemerintah, kata dia, khususnya Kementerian BUMN, untuk menindaklanjuti arahan Presiden dengan kebijakan operasional yang konkret dan terukur. Tidak cukup hanya mengumumkan harga beli gabah tanpa mekanisme penyerapan yang jelas dan merata di seluruh sentra produksi.
“Petani jangan hanya dijadikan sampel atas instruksi Presiden. Harus dipastikan semua gabah petani dibeli Rp6.500 per Kg, bukan hanya sebagian di daerah tertentu,” katanya.
Lebih lanjut, Aras menyarankan pemerintah membentuk satuan tugas khusus pengawasan pelaksanaan kebijakan ini, terdiri dari unsur BUMN, Kementerian Pertanian, organisasi petani, dan lembaga pengawas independen. Tujuannya untuk memastikan bahwa anggaran dan semangat kebijakan tidak bocor di tingkat implementasi.
Ketua Program Studi Akuntansi UNUSIA ini juga mengajak elemen masyarakat sipil dan organisasi pemuda untuk turut serta dalam mengawasi pelaksanaan kebijakan ini. Ia percaya kedaulatan pangan hanya bisa terwujud jika seluruh elemen bangsa bersinergi mengawal kebijakan yang berpihak kepada petani.
“Kita harus jaga amanat Presiden agar benar-benar berpihak kepada petani, bukan hanya berhenti di meja birokrasi. Bulog perlu dihidupkan kembali sebagai pelindung petani, bukan sekadar lembaga gudang pangan,” pungkasnya.