Mengenal Tren S Line yang Viral, Kontroversial karena Berbagi Pengalaman Seksual

JAKARTA – Media sosial tengah dihebohkan dengan tren baru yang tengah viral, yakni S Line, sebuah efek visual yang menampilkan garis merah di atas kepala seseorang dalam foto atau video. Tren ini terinspirasi dari drama Korea terbaru berjudul S Line, yang tayang perdana pada 11 Juli 2025 di platform streaming dan langsung menyedot perhatian global, termasuk di Indonesia.

Serial bergenre thriller-fantasi misteri itu menampilkan konsep unik di mana setiap karakter yang memiliki riwayat hubungan seksual digambarkan dengan garis merah di atas kepala mereka. Semakin banyak garis, semakin tinggi apa yang disebut sebagai body count—istilah yang merujuk pada jumlah pasangan seksual seseorang. Jika garis antar individu terhubung, itu menandakan mereka pernah memiliki hubungan intim satu sama lain.

Tren ini kemudian diadopsi secara kreatif di berbagai platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan X (Twitter). Ribuan pengguna telah mengunggah video menggunakan filter efek “S Line”, baik untuk hiburan, konten sindiran, hingga eksperimen sosial. Tercatat tagar #SLine telah digunakan lebih dari 2 juta kali di TikTok dalam sepekan terakhir dan lebih dari 80 ribu video menggunakan filter S Line di Instagram Reels, banyak di antaranya dibuat oleh remaja usia 13–21 tahun.

Di balik viralitasnya, tren ini memicu kontroversi dan kekhawatiran moral. Salah satunya datang dari wakil rakyat di Senayan, Andi Muawiyah Ramli. Anggota Komisi X DPR RI tersebut menilai tren S Line sangat mengkhawatirkan, terutama bagi kalangan muda yang mudah terpengaruh arus budaya populer yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan dan moralitas.

“Fenomena seperti ini bukan sekadar tren, tapi bisa menjadi celah masuknya gaya hidup permisif yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan dan karakter bangsa. Kita tidak bisa membiarkannya menjadi tontonan yang ditiru tanpa kontrol,” ujarnya, Jumat (18/7/2025).

Legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menegaskan pentingnya peran semua pihak, baik lembaga pendidikan, tokoh agama, pemerintah, dan terutama orang tua, untuk lebih aktif memantau dan membimbing anak-anak mereka dalam menggunakan media sosial serta menyaring tontonan yang mereka konsumsi.

“Pendidikan karakter tidak cukup hanya di sekolah. Butuh sinergi seluruh elemen masyarakat agar generasi muda tidak kehilangan arah. Konten-konten bermuatan negatif yang berkedok hiburan harus disikapi dengan bijak,” tambahnya.

Dia juga mendorong pemerintah melalui kementerian terkait untuk melakukan edukasi digital secara masif, serta mendorong hadirnya konten kreatif yang sehat dan mendidik sebagai tandingan dari tren yang tidak mendidik.

“Kita tidak bisa menutup akses internet, tapi kita bisa membentengi generasi muda dengan literasi digital, nilai agama, dan penguatan peran keluarga. Jangan sampai masa depan anak-anak kita dirusak oleh tontonan-tontonan yang merusak nilai-nilai luhur,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *