Realitas di Lapangan, Perpres 6/2025 Belum Ampuh Urai Sengkarut Pupuk Subsidi

JEMBER – Presiden Prabowo Subianto bertekad mencapai swasembada pangan utamanya beras. Beragam ikhtiar pun dilakukan, salah satunya mengkondisikan faktor input usaha tani berupa pupuk subsidi.

Melalui Perpres 6/2025 tentang tata kelola pupuk bersubsidi, pemerintah memberikan gebrakan dalam tata kelola pupuk subsidi. Di antaranya yang paling kentara, diberikannya peran Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai titik serah kepada petani. Namun faktanya Perpres ini belum menjadi obat manjur mengurai benang kusut distribusi hingga ketersediaan pupuk bersubsidi.

“Pupuk subsidi sering menjadi polemik tahunan terkait distribusi, ketepatan sasaran, serta ketersediaan saat masa tanam,” ujar Dekan Faperta Unej M. Rondhi dalam workshop bertajuk Penguatan Tata Kelola Pupuk Subsidi dan Transportasi Distribusi Padi Guna Mendukung Program Swasembada Pangan Era Presiden Prabowo yang digelar Fakultas Pertanian UNEJ dan Badan Inovasi dan Riset Nasional (BRIN) pada Senin (19/5).

Rondhi menegaskan, swasembada pangan hanya dapat dicapai apabila aspek fundamental pertanian, yaitu input produksi dan distribusi hasil mampu diperbaiki secara sistematis dan adil.

Dalam workshop ini terbuka permasalahan utama tata kelola pupuk subsidi dominan bersumber dari database awal baik di sistem Manajemen Penyuluhan Pertanian (Simluhtan) maupun database e-RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Integritas data Calon Petani Calon Lokasi (CPCL) dinilai masih masih sengkarut. “Adanya realokasi menjadikan bukti RDKK ternyata hanya selalu menjadi rencana dan tak pernah definitif,” urai Sudibyo, penggiat dan pemilik kios pertanian.

Tantangan penguatan data e-RDKK tidaklah gampang. Relasi data kependudukan, status petani (pemilik-penyewa), dinamika Kelompok tani hingga pada data calon petani. Sementara luasan, komoditas, status lahan dan pertanahan seringkali jadi polemik penentuan Calon Lokasi.

Menanggapi hal ini Arditya Wicaksono dari BRIN menyapaikan perlunya  integrasi data spasial dan digitalisasi distribusi. ”Distribusi pupuk dan hasil panen harus berbasis geospasial dan responsif terhadap kebutuhan petani di lapangan,” ulasnya.

Isu masalah  pupuk subsidi kian liar tatkala masyarakat juga mengaku tidak menerima informasi atau menerima informasi yang tidak benar.

Bestian, Koordinator BPP Ajung Jember mengatakan kalaupun petani tidak tahu dari temannya, ketika dia ke kios dan tidak diberikan pupuk pasti disarankan untuk mendaftarkan ke penyuluh. Karena informasi ini telah disampaikan baik oleh kelompok, penyuluh maupun sosial media. Artinya memang diperlukan peran aktif petani di tengah keterbukaan informasi yang tentu perlu dukungan stakeholder lain termasuk Perguruan Tinggi.

Merespons kondisi ini ada perspektif unik yang disampaikan Andang Subaharianto dari Pusat Pemajuan Kebudayaan UNEJ. Dia berpendapat penggunaan urea telah menjadi sebuah kebiasaan membudaya yang menjadi aneh jika tak melakukannya.

“Kita dapat belajar dari budaya Samin yang  dianggap menentang arus sehingga dinilai sebagai pemberontakan,” ujarnya.

“Ini bermakna perlu ada arus  “penentangan” bahwa ada produk lain yang dapat dioptimalkan bukan sekedar ketergantungan pada urea subsidi. Teknologi pupuk organik, penggunaan varietas dan kecerdasan teknik budidaya dapat dipilih dalam meningkatkan produktivitas ketimbang sekedar berkutat pada pupuk subsidi.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *