JAKARTA – Program pengiriman pelajar nakal untuk dididik di barak militer oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menuai kritik dari politisi PKB Andi Muawiyah Ramli. Anggota Komisi X DPR RI itu menilai pola pendidikan bercorak militeristik tak cocok untuk siswa.
Menurut wakil rakyat yang membidangi urusan pendidikan tersebut, kebijakan Dedi Mulyadi memang terkesan baik, untuk memperkuat kedisiplinan dan membangun karakter siswa. Namun, dia menilai pola tersebut justru mencabut hakikat pendidikan bagi generasi muda.
“Kalau kita lihat sepintas memang nampaknya pola kebijakan pak Gubernur Jawa Barat itu baik ya, mau membangun kedisiplinan, karakter yang berani. Tapi ingat, hakikat pendidikan untuk anak-anak muda itu bukan begitu, sama sekali tidak militeristik,” ujarnya di Jakarta, Kamis (8/5/2025).
Dedi Mulyadi belakangan membuat banyak gebrakan. Salah satunya mengirim pelajar nakal untuk dididik oleh TNI. Program ini telah berjalan di Purwakarta dan Kota Bandung. Sebanyak 39 siswa yang terlibat kenakalan dari berbagi sekolah telah dikirim ke Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Artileri Medan 9 untuk menjalani pendidikan selama 28 hari. Sementara di Bandung 10 siswa telah menjalani pendidikan semi militer tersebut. Dedi Mulyadi menyebut pendidikan dimulai dari jenjang pendidikan SMP dengan kriteria anak-anak yang sudah mengarah tindakan kriminal dan orangtuanya tidak punya kesanggupan untuk mendidik.
Alih-alih mengirim para pelajar yang bermasalah ke barak militer, Andi Muawiyah Ramli menyarankan pola pendidikan pesantren jauh lebih cocok untuk mereka. “Pola pendidikan di pesantren saya kira lebih cocok untuk anak-anak muda kita. Dari dulu polanya untuk menanamkan karakter, disiplin, juga akhlakul karimah. Dan ini saya kira siswa-siswa yang katanya nakal lebih baik dikirim ke pesantren,” katanya.
Lebih lanjut dia menyatakan, perubahan karakter dan perilaku siswa sulit dicapai hanya melalui pelatihan intensif beberapa minggu di barak militer. “Membangun karakter dan disiplin siswa itu tidak bisa cuma tiga minggu. Apalagi di barak militer. Cara berfikir siswa itu perlu diasah dalam waktu yang lama, dan di pesantren bisa bertahun-tahun,” ungkapnya.
Lantaran program Dedi Mulyadi sudah terlanjur berjalan, Andi Muawiyah Ramli meminta Kementerian PPPA serta Kemendikdasmen untuk mengawasi. “Tapi sekarang nasi sudah jadi bubur. Kebijakan sudah dijalankan. Jadi tinggal pengawasannya harus benar-benar dikawal. Saya minta Kementerian PPPA dan Kementerian Pendidikan serius mengawal kebijakan itu,” pungkasnya.
Kritik terhadap kebijakan Dedi Mulyadi tak hanya datang dari Andi Muawiyah Ramli, tapi juga dari berbagai kalangan seperti Komnas HAM, Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Dewan Kehormatan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), hingga Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).