KABARJATIM – GP Ansor mendorong Presiden Prabowo Subianto segera membentuk Badan Penerimaan Negara guna meraup potensi pajak sebesar ratusan triliun rupiah. Langkah ini bersifat mendesak lantaran pemerintah tengah menghadapi tekanan fiskal akibat pemangkasan anggaran sebesar Rp306 triliun.
Hari ini berbagai tantangan muncul, mulai dari keterbatasan ruang fiskal, ketergantungan APBN terhadap penerimaan perpajakan, hingga tingginya potensi kebocoran penerimaan dari sektor ekonomi bawah tanah baik yang bersifat formal maupun ilegal. Untuk itu diperlukan reformasi kelembagaan yang mampu memperkuat sistem perpajakan dan kepabeanan agar lebih efektif, transparan dan akuntabel.
“Pembentukan BPN dengan menyatukan otoritas pajak dan bea cukai merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Dengan otonomi yang lebih luas diharapkan akan meminimalisir intervensi politik serta memastikan sistem perpajakan dan kepabeanan berjalan lebih efisien dan efektif. Akan lebih dahsyat lagi bisa di satukan juga untuk penerimaan negara bukan pajaknya,” ujar Ketua Bidang Keuangan dan Perpajakan PP GP Ansor, M. Arif Rohman dalam Ngaji Keuangan & Perpajakan dengan tema “Ramai Pemangkasan Anggaran, Badan Penerimaan Negara Solusinya?” yang diselenggarakan GP Ansor di Kedai Tempo, beberapa waktu lalu.
Hadir sebagai narasumber dalam diskusi ini Hadi Poernomo (Dirjen Pajak tahun 2001 sampai dengan 2006), Berly martawardaya (Dosen FEB UI dan Direktur Riset INDEF) serta Vaudy Starworld (Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia).
Dalam forum tersebut, GP Ansor menyoroti urgensi dan kebutuhan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) sebagai solusi untuk mengoptimalkan penerimaan negara di tengah keterbatasan fiskal.
Pembentukan Badan ini diharapkan dapat memperbaiki sistem pemungutan pajak dan bea cukai dengan memperkuat pengawasan, mengatasi praktik tax evasion, serta menekan kebocoran penerimaan negara yang selama ini masih marak terjadi.
GP Ansor menilai bahwa penggabungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) ke dalam satu badan yang lebih independen dapat meningkatkan efisiensi dan mempercepat integrasi data perpajakan dan kepabeanan.
Berdasarkan data yang dipaparkan dalam diskusi, underground economy diperkirakan mencapai 22 persen dari PDB, dengan potensi penerimaan pajak yang belum tergali mencapai Rp484 triliun. Angka ini jauh lebih besar dari nilai pemangkasan anggaran yang saat ini terjadi.
Selain itu, GP Ansor juga menyoroti perlunya pengawasan ketat terhadap praktik tax evasion, penyelundupan, dan underreporting transaksi ekspor-impor.
Dengan berbagai tantangan fiskal yang dihadapi saat ini, GP Ansor mendorong pemerintah segera merealisasikan rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara sebagai lembaga yang lebih independen langsung di bawah Presiden.
Langkah ini diyakini dapat menjaga stabilitas fiskal, memperkuat sistem perpajakan, meningkatkan kualitas pengawasan dan pelayanan serta memastikan pembangunan nasional tetap berjalan tanpa terganggu oleh keterbatasan anggaran.