SURABAYA – Media sosial ternyata memberikan sensasi unik pada tubuh manusia ketika berinteraksi alias scrolling. Tak heran, kita merasa nyaman dan merasa ada sesuatu yang kurang jika sehari saja tidak membuka media sosial. Bahkan ada sebentuk perasaan kecewa hingga marah saat diminta berhenti berselancar.
Kesimpulan di atas terungkap dalam riset yang dilakukan oleh profesor Niklas Ihssen dari Departemen Psikologi, Universitas Durham. Dilansir dari Science Alert, Kamis (6/3/2024), dalam penelitian ini, 54 orang dewasa diminta menjelajahi Instagram selama 15 menit, seperti kebiasaan mereka sehari-hari. Namun, kali ini, elektroda dipasang di dada dan jari mereka untuk merekam detak jantung dan indikator keringat.Sosme
Para psikolog menggunakan tanda-tanda fisiologis ini untuk mengukur kondisi mental dan emosi yang halus. Sebagai pembanding, peserta juga diminta membaca artikel berita di ponsel sebelum membuka Instagram.
Hasilnya? Dibandingkan saat membaca berita, scrolling Instagram menyebabkan penurunan detak jantung yang signifikan, namun di saat yang sama, meningkatkan respons keringat.
Penelitian lain menunjukkan bahwa pola respons tubuh seperti ini menandakan perhatian seseorang terserap penuh oleh stimulus yang sangat signifikan atau emosional di lingkungannya. Ini adalah kondisi kegembiraan sekaligus keterlibatan mendalam pada sesuatu yang sangat berarti bagi kita.
Yang menarik, kondisi kontrol menunjukkan bahwa respons tubuh ini bukan sekadar efek dari menggunakan ponsel atau membaca. Jadi, ada sesuatu yang “spesial” dari media sosial yang bisa membuat kita begitu terbenam.
Efek paling mengejutkan terjadi saat peserta diinterupsi di akhir sesi Instagram mereka dan diminta untuk kembali membaca artikel berita. Alih-alih kembali ke kondisi tenang, respons keringat peserta justru meningkat lebih lanjut, dan detak jantung pun naik, bukan melambat.
Kecanduan Media Sosial?
Apa yang sebenarnya terjadi? Penilaian emosi peserta membantu menjelaskan fenomena ini. Peserta melaporkan merasa stres dan cemas saat harus berhenti dari feed mereka. Bahkan, mereka mengaku mengalami “ngidam” media sosial saat itu.
Respons fisiologis saat peserta harus log out mencerminkan bentuk gairah lain, namun kali ini lebih negatif dan terkait stres. Respons stres tubuh dan psikologis seperti ini juga terjadi pada orang dengan kecanduan zat saat mengalami gejala putus zat atau berhenti “cold turkey”.
Apakah ini tanda-tanda “putus” dari Instagram?
Jawabannya tidak sederhana. Namun, penelitian ini memberikan petunjuk. Setelah eksperimen, peserta mengisi kuesioner untuk menilai gejala “kecanduan media sosial”.
Meski konsep ini kontroversial dan belum diakui sebagai gangguan kesehatan mental, kuesioner ini menunjukkan bagaimana penggunaan media sosial dapat berdampak negatif pada kehidupan sehari-hari seseorang, termasuk pekerjaan, sekolah, atau konflik dengan pasangan.
Yang menarik, tidak ada perbedaan detak jantung dan keringat antara peserta dengan skor “kecanduan” tinggi atau rendah. Artinya, semua peserta menunjukkan pola keterlibatan yang bersemangat saat menggunakan media sosial dan gairah terkait stres saat diinterupsi.
Bukan berarti kita semua kecanduan media sosial. Namun, media sosial menawarkan imbalan yang sangat kuat. Beberapa fiturnya memang memiliki dimensi adiktif, seperti video pendek personal yang menjebak kita dalam lingkaran konten hiburan tanpa akhir.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa aspek sosial media sosial yang mendorong orang menggunakannya secara intensif. Ini berarti, berbeda dengan obat-obatan, media sosial memenuhi kebutuhan dasar manusia: kita semua ingin diterima dan disukai.
Jadi, jika kita mengakui “kecanduan media sosial”, kita mungkin juga perlu mengakui “kecanduan pertemanan”. Kita harus berhati-hati dengan istilah kecanduan dalam konteks media sosial, karena risiko “mempatologikan” perilaku normal dan menimbulkan stigma.
Penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa kita baik-baik saja jika berhenti atau mengurangi penggunaan media sosial untuk sementara waktu, tanpa mengalami perubahan dramatis. Berbeda dengan obat-obatan, kita bisa memenuhi kebutuhan melalui cara lain, misalnya, dengan berbicara dengan orang lain.