Pilkada Ulang 24 Daerah di Penghujung Ramadan Sebaiknya Ditinjau Ulang

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 24 daerah di Indonesia. PSU dijadwalkan mulai digelar pada penghujung Ramadan atau jelang Idul Fitri. Muncul usulan agar pesta demokrasi ini ditunda untuk menghormati umat Islam melaksanakan ibadah.

“Bulan puasa itu bulan yang baik, untuk meningkatkan ketaqwaan, berperilaku lebih baik, termasuk untuk memilih calon pemimpin yang baik dan tepat, tapi bila waktunya mengganggu konsentrasi satu sama lain, maka sebaiknya ditunda,” kata Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PKB Mohammad Toha, Selasa (4/3/2025).

Sebanyak 24 daerah akan menggelar PSU. Rinciannya, 15 PSU dilaksanakan di seluruh daerah, dan 9 PSU dilaksanakan di sejumlah TPS. Waktu pelaksanaannya berbeda-beda. Yang paling cepat adalah 26 Maret 2025 untuk PSU seluruh daerah di Kabupaten Magetan, Jawa Timur, PSU di sejumlah TPS di Kabupaten Barito Kalsel, Kabupaten Siak Riau, dan rekapitasi uang di Kabupaten Puncak Jaya Papua Tengah.

26 Maret 2025 bertepatan dengan 25 Ramadhan 1446 H atau H-5 Idul Fitri. Menurut Toha, waktu itu kurang tepat untuk PSU. Sebab, pada akhir bulan puasa, umat Islam harus memperbanyak ibadah, dan disibukkan dengan berbagai kebutuhan perayaan Idul Fitri, termasuk keperluan mudik, berkunjung ke pemakaman orang tua, keluarga, dan kegiatan lainnya.

“Menurut saya, sebaiknya PSU ditunda untuk menghormati umat Islam. Penyelenggara pemilu harus mengkaji ulang,” saran Toha.

Toha mengatakan, PSU akan dilaksanakan sesuai tahapan pemilu/pilkada, mulai dari pembentukan penyelenggara tingkat ad hoc, penyiapan logistic, pendirian TPS, hari H pencoblosan dan penghitungan yang biasa memerlukan waktu sampai sehari atau malam hari, juga rekapitulasi yang harus dilalui secara berjenjang dengan tambahan waktu, termasuk sekarang ini masih musim penghujan.

“PSU bila dipaksakan pada 26 Maret 2025 akan banyak mafsadatnya. Sebaiknya penyelenggara berpikir ulang, jangan grusa-grusu,” kata anggota DPR RI empat periode itu.

Toha juga mengingatkan terkait ketersediaan anggaran. PSU untuk 14 daerah memerlukan dana Rp700 milliar, ditambah dua pilkada ulang di Kota Padangsidimpuan dan Kabupaten Bangka Kepulauan Bangka Belitung yang diperkirakan total menjadi Rp1 triliun.

“Dana tersebut cukup besar, perlu perencanaan dan pemeriksaan lebih cermat. Jangan terus-terusan KPU dan Bawaslu disorot sebagai lembaga yang melakukan pemborosan anggaran negara,” ucap Toha.

Mantan Wakil Bupati Sukoharjo dua periode itu menyatakan, sekarang ini pemerintah sedang melakukan efisiensi anggaran negara yang dampaknya telah mengagetkan seluruh lembaga negara juga masyarakat. Semua pihak harus mendukung upaya pemerintah untuk melakukan rekonstruksi APBN dan APBD untuk mensejahterakan rakyat melalui program Asta Cita Presiden Prabowo.

“Tentu ini butuh waktu, jangan sampai di masa transisi ini, KPU dan Bawaslu tidak memiliki sensitivitas, apalagi dana Pemilu 2024 yang mencapai Rp 73 triliun belum dilakukan audit secara menyeluruh,” pungkas Toha.

Cegah Sengketa Berulang

Sementara itu, Ketua Fraksi PKB DPR RI Jazilul Fawaid berharap pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah daerah diharapkan tidak memunculkan sengketa berulang yang berdampak pada proses demokrasi hingga membengkaknya biaya. Penyelenggara Pemilu harus memastikan jika proses PSU benar-benar berjalan fair, transparan, dan demokratis.

“Kami berharap pemerintah, KPU, dan Bawaslu harus benar-benar memastikan jika pelaksanaan PSU tidak memunculkan sengketa berulang yang memicu keresahan dan kerusuhan di masyarakat. Komisi II DPR harus segera memanggil Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga Menteri terkait untuk memastikan agar pelaksanaan PSU berjalan baik dan demokratis,” ujarnya.

Untuk diketahui MK memutuskan PSU di 24 daerah di seluruh Indonesia. Keputusan ini dikeluarkan setelah MK menemukan adanya kesalahan administrasi dalam pelaksanaan Pilkada 2024 seperti periodisasi masa jabatan, surat keterangan tidak pernah dipidana hingga legalitas ijazah. Terkait anggaran pelaksanaan PSU di 24 daerah peserta Pilkada 2024, Bawaslu dan KPU memperkirakan dibutuhkan biaya hampir Rp 1 triliun. Untuk KPU sebesar Rp 486 miliar, sedangkan Bawaslu sekitar Rp 251 miliar dan untuk biaya lainnya seperti keamanan.

Gus Jazil-sapaan akrab Jazilul Fawaid-menjelaskan terjadinya PSU merupakan konsekuensi adanya sengketa Pemilu. Hanya saja cukup ironis ketika beberapa pemicu PSU ini sebenarnya bisa diantisipasi sejak dini.

“Kasus PSU di Tasikmalaya misalnya tidak akan terjadi jika dari awal penyelenggara Pemilu cermat untuk memastikan persyaratan terkait periodesasi jabatan calon kepala daerah terpenuhi atau PSU karena legalitas ijazah calon kepala daerah. Ini kan hal sepele yang berdampak besar karena harus ada pengulangan pemungutan suara dengan biaya besar,” katanya.

Terkait masalah anggaran PSU, kata Gus Jazil, memang sempat terjadi kendala di mana Bawaslu merasa anggarannya terlalu kecil. Kendati demikian, hal ini harus diselesaikan oleh Pemerintah karena bagaimanapun Bawaslu mempunyai peran penting.

“Jangan sampai ada masalah anggaran yang menyebabkan Bawaslu tidak melakukan pengawasan. Ini kan bisa jadi kacau. Pemerintah harus mengatur anggaran untuk pelaksanaan PSU,” tuturnya.

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah hingga PSU yang menghabiskan anggaran yang sangat besar menurut Gus Jazil harus dilakukan evaluasi. Menurutnya, anggaran yang besar dalam pelaksanaan Pilkada lebih baik dialokasikan untuk pembangunan sosial ekonomi negara. “Kami mendorong adanya revisi Undang-Undang Pemilu untuk mengevaluasi pelaksanaan Pilkada yang berbiaya tinggi,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *