Skandal Pertamax Dioplos Pertalite, Publik Marah karena Merasa Tertipu

JAKARTA – Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah di Pertamina yang ditaksir merugikan negara hingga Rp968,5 triliun berpotensi menggerus kepercayaan publik. Masyarakat marah lantaran merasa tertipu membeli Pertamax yang disinyalir dioplos dengan pertalite.

Tak hanya soal selisih harga, imbas ke mesin kendaraan juga membuat rasa kesal semakin bertambah. Untuk mengantisipasi tergerusnya kepercayaan publik terhadap pom bensin Pertamina yang menjual pertalite dan pertamax, anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKB Rivqy Abdul Halim mengingatkan agar perusahaan pelat merah itu segera melakukan langkah-langkah antisipasi agar pengguna pertamax tidak beralih ke BBM alternatif yang disediakan oleh produsen lain. Kasus ini juga harus dijadikan menjadi momentum Pertamina untuk berbedah diri setelah masuk menjadi bagian dari super holding Danantara.

“Kasus ini menjadi sorotan serius mengingat besarnya kerugian negara yang ditimbulkan dan implikasinya terhadap kepercayaan publik terhadap Pertamina. Langkah-langkah pencegahan dan penanganan yang komprehensif diharapkan dapat memulihkan integritas perusahaan serta mencegah terulangnya skandal serupa di masa depan,” katanya melalui siaran pers yang diterima Kabarjatim.com.

Salah satu tugas berat yang harus segera dilakukan Pertamina, menurut Rivqy adalah meluruskan kabar di masyarakat mengenai perbedaan kadar RON antara Pertalite dan Pertamax. Hal ini dinilai penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Pertamina sebagai perusahaan milik negara.

“Publik ini marah karena ada informasi jika Pertamax yang mereka beli ternyata Ron-nya cuma 90 atau setara Pertalite. Mereka merasa tertipu dan bisa menjadi tidak percaya ke SPBU Pertamina lagi. Jadi harus diluruskan disertai dengan bukti-bukti valid,” katanya.

Adapun terkait terkuaknya mega skandal korupsi yang telah berlangsung selama lima tahun ini, Rivqy mengapresiasi kinerja aparat penegak hukum.

“Kami mengapresiasi Kejagung yang berhasil membongkar pratik korupsi yang masuk klasifikasi mega skandal. Yang berlangsung secara terstruktur dan masif dalam beberapa tahun terakhir. Ini harus menjadi momentum pembenahan dari Pertamina secara menyeluruh. Apalagi Pertamina termasuk aset unggulan dari Danantara,” ujarnya.

Rivqy menyoroti bahwa kasus ini terjadi akibat mentalitas koruptif para pelaku dan minimnya pengawasan. Ia menegaskan pengawasan yang ketat sangat penting untuk mencegah terjadinya praktik serupa di masa depan. “Apalagi dugaan korupsi ini kemungkinan besar telah berlangsung sejak tahun 2018 hingga 2023,” katanya.

Rivqy mengatakan Komisi VI DPR berencana memanggil PT Pertamina (Persero) bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk memberikan penjelasan terkait kasus ini. Menurutnya, harus jelas langkah pembenahan di tubuh PT Pertamina agar kasus ini tidak terulang di masa depan. “Harus ada pembenahan agar Pertamina benar-benar menjadi perusahaan unggul karena perannya sangat strategis terkait manajemen pengelolaan energi dalam negeri,” katanya.

Dia juga menekankan bahwa kasus ini harus segera ditangani agar tidak berdampak lebih luas pada kinerja Pertamina dan pendapatan negara. Ia menyarankan agar dilakukan transparansi dalam pengelolaan perusahaan serta pengawasan yang lebih ketat dari hulu hingga hilir untuk mencegah terulangnya praktik manipulasi data di masa depan.

Untuk diketahui Kejaksaan Agung telah menetapkan 11 tersangka, terdiri dari tujuh orang dari pihak penyelenggara negara dan empat orang dari pihak swasta. Di antara tersangka dari pihak penyelenggara negara adalah Riva Siahaan (Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga), Sani Dinar Saifuddin (Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional), Yoki Firnandi (Direktur Utama PT Pertamina International Shipping), dan Agus Purwono (VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional).

Sementara tersangka dari pihak swasta termasuk Muhammad Kerry Andrianto Riza (beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa), Dimas Wehaspati (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim), serta Gading Ramadhan Joedo (Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak). Semua tersangka telah ditahan selama 20 hari untuk kepentingan penyidikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *