JAKARTA – Fakta mencengangkan tentang kondisi anak Indonesia terungkap dari hasil riset terbaru. Sebanyak 20,9 persen di antaranya kehilangan sosok ayah, karena berbagai faktor seperti perceraian, kematian, atau pekerjaan orangtua yang jauh dari keluarga.
“Saat ini masyarakat Indonesia mulai kehilangan sosok ayah dalam mengasuh anak di keluarga. Ayah hanya mengurus ekonomi keluarga, namun lupa mengasuh anak. Padahal anak juga butuh sentuhan psikologis. Maka, jika ada kekerasan pada anak, jangan pernah menyalahkan anak. Kita coba intropeksi apa yang pernah dilakukan orang tua pada anak,” kata Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Mendukbangga)/Kepala BKKBN, Dr. H. Wihaji, S.Ag, M.Pd, dalam Webinar Nasional ICMI Pusat, beberapa waktu lalu.
Parahnya lagi, situasi di atas ditambah dengan ketidakmampuan orangtua mengontrol anak berinteraksi dengan game online dan media sosial, hingga membuat anak kecanduan gadget. Alih-alih membatasi, banyak orangtua yang ikut-ikutan kecanduan gadget dan acapkali memberikan gadget agar anak tak rewel.
“Saat ini sebagian besar keluarga yang mengasuh anak kita adalah media sosial. Karena mereka berjam-jam berdiskusi dan ngobrol dengan media sosial, dibandingkan ngobrol dengan orang tuanya, khususnya ayah. Bahkan ada ayah dan anaknya ketemu bareng, tapi sama-sama megang handphone, sama-sama asyik dengan dunianya sendiri. Jangan salahkan anak ketika mereka banyak bermain media sosial di handphonenya. Banyak anak-anak sekarang yang hobinya rebahan sambil bermain sosial media,” tuturnya.
Potret keluarga di atas tentu membuat Wihaji prihatin. Dia mengingatkan, ketika ayah tidak hadir di dalam pola asuh anak, bisa tercipta mental strawberry generation, hello kitty generation pada anak. Karena mereka 80% hanya dipengaruhi oleh pola asuh ibu.
“Sehingga sifat leadership maskulin pada anak akan hilang. Anak menjadi lemah lunglai, tidak kuat menghadapi tantangan, dan sedikit manja. “Maka, sempatkanlah bagi ayah untuk ngobrol dengan anak,” ujarnya.
Ujung-ujungnya, kombinasi ketidakhadiran sosok ayah serta banyaknya interaksi dengan gawai berdampak pada perkembangan anak, menyebabkan meningkatnya gangguan emosi dan sosial, risiko penyalahgunaan NAPZA, performa akademis lebih rendah, risiko kenakalan remaja, hingga anak laki-laki karakter maskulinnya menjadi kabur, menyebabkan hilangnya karakter leader pada anak.
Wihaji menilai budaya kekerasan terhadap anak dapat dihilangkan dengan pola asuh yang baik, berdasarkan akhlak mulia berbasis pada kesadaran bersama. Karena untuk menciptakan generasi masa depan yang kuat, tidak hanya melalui akademik, tetapi juga dimulai dengan pembentukan karakter di lingkungan keluarga.
Sehubungan dengan hal ini Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN menghadirkan lima Program Quick Win. Terkait pembentukan karakter anak, ada Gerakan Ayah Teladan (GATE), merupakan satu dari lima quick win, sebagai upaya membangun karakter orangtua, khususnya ayah untuk belajar mengasuh anak. Karena karakter anak akan dibentuk oleh karakter orangtuanya.