“Bencana alam di… yang menewaskan sebanyak…” Belakangan, kalimat itu seperti gema yang terus menghentak kesadaran kita. Disiarkan televisi, dibagikan di kanal digital, ditulis di media massa dan media sosial. Musim bencana kembali menyelimuti negeri: tanah longsor, banjir bandang, angin kencang, hingga gempa bumi yang datang beriringan. Semua meninggalkan jejak duka, korban jiwa, kerugian ekonomi, dan luka sosial yang menganga. Kita dipaksa menatap kenyataan pahit: bencana-bencana ini bukan hanya fenomena alam, tetapi juga buah tangan manusia.
Kita sering menyalahkan curah hujan tinggi, cuaca ekstrem, atau perubahan iklim global. Namun di saat yang sama, hutan terus digunduli, bukit ditelanjangi, sungai dicemari, dan sumber daya alam dikeruk tanpa kendali. Ironisnya, sebagian kerusakan itu justru terjadi dengan restu diam-diam dari para elite yang seharusnya menjaga amanah kebangsaan. Akibatnya, alam tak hanya kehilangan keseimbangannya; manusia yang tak bersalah pun turut menanggung derita, dalam jumlah yang tak sedikit.
Allah subhaanahu wata’alaa sudah jauh-jauh mengingatkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia…” (QS Ar-Rum: 41). Ayat ini bukan masa lalu, tapi potret masa kini. Kerusakan ekologis adalah cermin dari kerusakan moral. Ketika moral runtuh, kerusakan alam hanya menunggu waktu.
Pada ayat lain juga ditegaskan: “Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi…” (QS Al-An‘am: 165)
Harus diingat, bahwa Khalifah bukan gelar kehormatan, melainkan amanah. Ketika amanah tidak dijalamkan sebagaiman mestinya, maka ia akan mengudang konsekuensi.
Rasulullah Shollallaah ‘alayhi wasallam juag menegaskan: “Sesungguhnya dunia itu hijau dan indah, dan Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di dalamnya. Maka Dia melihat bagaimana kalian bertindak.” (HR. Muslim)
Hadis tersebut mengingatkan kita bahwa setiap tindakan manusia terhadap alam adalah bagian dari spiritualitasnya. Eksplorasi boleh, eksploitasi yang merusak adalah pengkhianatan.
Kerusakan ekologis yang menyebar hari ini menunjukkan betapa manusia kehilangan kendali batin. Ketiak panduan spiritual dinegasikan, ambisi berubah menjadi keserakahan dan pembangunan berubah menjadi penghancuran. Pohon ditebang tanpa reboisasi, gunung dikeruk tanpa batas, sungai dicemari tanpa rasa bersalah. Ketika alam rusak, ia akan membalas, dan bencana hanyalah salah satu bentuknya.
Kita memerlukan bukan hanya kebijakan lingkungan, tetapi kesadaran ‘bertobat’ sebagai bangsa. Kesadaran bahwa merawat bumi adalah ibadah, bukan sekadar program pembangunan. Alam adalah amanah, bukan komoditas.
Seruan Agama-agama Terhadap Theo-Ecology
Tidak hanya dalam Islam, peringatan senada juga ada pada agama lain. Dalam Hindu, alam adalah manifestasi Brahman, sehingga merusaknya berarti mengganggu tatanan kosmik. Prinsip dharma dan karma memberi landasan etis, bahwa tindakan buruk terhadap alam akan berbuah buruk bagi manusia. Sungai, gunung, dan pohon dihormati sebagai entitas suci. Ini bukan sekadar simbolisme spiritual, tetapi etika ekologis yang kuat.
Dalam tradisi Kristen, manusia dipanggil sebagai steward, pengurus ciptaan Tuhan. ‘Dominion’ bukan dominasi merusak, tetapi perintah untuk memelihara. Gereja-gereja di Indonesia telah berkali-kali menyerukan tanggung jawab ekologis dan menjadi garda depan dalam respons kemanusiaan saat bencana.
Theo-Ecology modern pun menegaskan: merusak lingkungan berarti mengingkari ciptaan Tuhan.
Masih dalam konteks serupa, Konfusianisme menolak pemisahan antara manusia dan alam. Manusia dan alam berada dalam satu jaringan moral. Ketika satu rusak, yang lain terguncang. Etika Konfusian menuntut kepemimpinan yang bertanggung jawab, masyarakat yang membangun harmoni, dan kebijakan yang mengutamakan keseimbangan ekologis.
Saatnya Menagih Janji Para Pemimpin
Bencana yang menimpa Indonesia seharusnya menjadi alarm moral bagi para pengambil kebijakan. Agama-agama besar di negeri ini sudah bersuara senada, bahwa merawat bumi bukan pilihan, melainkan kewajiban, sebagai modal etis kolektif bangsa.
Islam memandang manusia sebagai khalifah.
Hindu menuntut keselarasan melalui dharma.
Kristen mengajarkan stewardship.
Konfusianisme menekankan harmonitas manusia dan alam.
Empat bahasa moral ini menyatu menjadi satu pesan, bahwa manusia harus berhenti memperlakukan bumi seperti barang habis pakai. Alam sedang menagih janji kita. Dan bangsa ini harus menjawabnya,bukan dengan retorika, tetapi tindakan nyata yagn berupa kebijakan tegas, pengawasan kuat, penegakan hukum tanpa kompromi, dan perubahan gaya hidup yang lebih ramah bumi. Itulah wujud ibadah ekologis yang paling diperlukan hari ini.
Oleh: Asep Awaludin, Dosen Unida Gontor






