CIREBON – Peringatan Hari Santri di kompleks Pondok Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat, berlangsung meriah. Hujan yang turun tidak menyurutkan semangat para kader Gerakan Pemuda (GP) Ansor untuk menggelorakan semangat perjuangan yang diwariskan para kiai dan santri pejuang.
Dalam suasana khidmat itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat GP Ansor, H. Addin Jauharudin, menyampaikan pesan penting tentang warisan perjuangan ulama dan semangat keyakinan yang menjadi fondasi gerakan Ansor.
“Dari Buntet ini lahir ulama-ulama besar, para panutan kita Mbah Muqowim, KH Abdul Jamil, KH Abbas yang bukan hanya guru bangsa, tetapi juga pejuang keberanian yang mengorbankan segalanya untuk kemerdekaan,” kata Addin dalam amanatnya, Selasa (22/10).
Addin menyebut KH Abbas Buntet sebagai Singa dari Jawa Barat, tokoh yang menjadi motor perlawanan dalam Pertempuran 10 November di Surabaya, yang disebutnya sebagai bukti kekuatan keyakinan seorang ulama dan santri. “Dari Mbah Abbas kita belajar satu hal: yakinlah. Karena dengan keyakinan itulah perjuangan bisa menembus yang mustahil,” ujarnya.
Menurut Addin, semangat jihad dan keikhlasan para kiai dan santri itulah yang kini diwarisi oleh kader Ansor dan Banser di seluruh Indonesia.
Ia menegaskan, menjadi kader Ansor bukan sekadar aktivitas organisasi, melainkan wasilah untuk menyambung sanad perjuangan ulama dan Nabi Muhammad SAW. “Dalam diri sahabat Ansor dan Banser mengalir darah perjuangan ulama. Menjadi Banser berarti menjaga warisan itu: menjaga NU, menjaga pesantren, menjaga bangsa, dan menjaga keluarga,” tegasnya.
Addin juga menyerukan agar Ansor menjadi ruang pendidikan moral dan spiritual bagi anggotanya. “Jadikan Ansor sebagai pesantren mini. Yang belum rajin salat, rajinlah. Yang belum bisa membaca Al-Qur’an, belajarlah. Karena kader Ansor punya tanggung jawab membimbing keluarganya agar lebih baik,” imbuhnya.
Menutup arahannya, Addin mengajak seluruh kader menjadikan momentum Hari Santri sebagai refleksi dan konsolidasi untuk memperkuat peran Ansor sebagai penopang dan benteng utama Nahdlatul Ulama. “Kita adalah satu, satu rasa, satu komando, satu jiwa korsa satu militansi. Kalau ada kader yang sakit, maka sebagai satu saudara kita saling tolong menolong,” tegasnya.