JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyambut positif rencana Menteri ATR/BPN Nusron Wahid untuk menertibkan tanah telantar sebagai bagian dari upaya mengatasi ketimpangan penguasaan tanah dan mengimplementasikan reforma agraria. Namun, KPA mengingatkan bahwa tanpa keberanian politik dan langkah taktis yang tepat, kebijakan tersebut bisa melenceng dari tujuan utamanya.
“Langkah ini strategis untuk mencegah monopoli dan menunaikan mandat konstitusi dalam reforma agraria. Namun, dibutuhkan keberanian politik dan kehati-hatian agar tidak salah arah,” ujar Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Kamis (24/7/2025).
Dewi menyebut wacana penertiban tanah telantar telah mengemuka sejak 1998, ketika pemerintah menerbitkan PP No.38/1998 tentang Pendayagunaan Tanah Telantar. Regulasi ini telah diperbarui melalui PP No.11/2010 dan PP No.21/2021. Namun, implementasinya dinilai belum optimal karena lemahnya kemauan politik pemerintah.
“Mandat UUPA 1960 jelas, bahwa tanah harus dijalankan sesuai fungsi sosialnya. Tapi praktiknya, justru badan usaha besar banyak memanfaatkan HGU dan HGB secara spekulatif,” urainya.
KPA menyoroti bahwa ketimpangan penguasaan tanah semakin melebar. Sektor perkebunan, terutama sawit, mengalami perluasan signifikan dari 15,39 juta hektare pada 2014 menjadi 17,76 juta hektare pada 2022. Sementara itu, rata-rata petani hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare.
Lebih dari itu, proses penerbitan HGU dan HGB kerap dilakukan tanpa konsultasi dengan masyarakat lokal, sehingga memicu konflik agraria yang luas.
“Selama 2015–2024, kami mencatat 3.234 letusan konflik agraria dengan total luasan 7,4 juta hektare, berdampak pada 1,8 juta keluarga. Sektor perkebunan mendominasi dengan 1.243 konflik,” jelas Dewi.
Menurut Dewi, berbagai pemerintahan pascareformasi telah menjanjikan reforma agraria, namun lebih fokus pada sertifikasi tanah ketimbang menyelesaikan konflik dan redistribusi lahan.
Selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, KPA mengusulkan 851 Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) seluas 1,7 juta hektare. Namun hanya 2,46 persen yang berhasil diselesaikan, dan itu pun terbatas pada eks-HGU swasta. Penertiban HGU milik BUMN seperti PTPN masih nol persen.
“Padahal data sudah ada. Pemerintahan SBY pernah menyebut ada 7,3 juta hektare tanah telantar. Regulasi pun lengkap, mulai dari UUPA 1960, TAP MPR IX/2001, hingga Perpres 62/2023,” tegas Dewi.
Agar tidak menyimpang dari mandat konstitusi dan agenda reforma agraria, KPA mendesak Kementerian ATR/BPN untuk menjalankan empat langkah penting:
1. Cegah Spekulasi dan Monopoli
Penertiban harus difokuskan pada badan usaha yang menelantarkan HGU dan HGB, bukan menyasar masyarakat kecil. Tujuannya adalah mengurangi ketimpangan dan menghadirkan keadilan dalam penguasaan tanah.
2. Skala Prioritas dan Kehati-hatian
HGU dan HGB korporasi besar harus menjadi target utama. Jika salah sasaran, dikhawatirkan memicu konflik baru dan mencederai rasa keadilan.
3. Sinkronisasi dengan Reforma Agraria
Penertiban tidak cukup hanya administratif. Harus ada semangat penyelesaian konflik dan redistribusi tanah kepada kelompok rentan seperti petani gurem, masyarakat adat, nelayan, buruh tani, hingga perempuan pedesaan.
4. Transparansi dan Partisipasi Publik
Pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam penentuan lokasi penertiban dan redistribusi agar kebijakan tidak salah sasaran.
Dewi menegaskan, KPA siap mendukung upaya ini dengan data dan usulan lokasi konflik agraria yang telah diajukan selama ini. “Jangan sampai kebijakan ini sekadar menjadi jargon politik tanpa hasil nyata,” pungkasnya.