JAKARTA – Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) GP Ansor Dendy Zuhairil Finsa menyoroti kasus korupsi yang diduga terjadi dalam kebangkrutan perusahaan tekstil besar, Sritex. Menurutnya, negara berpotensi mengalami kerugian keuangan besar karena setelah dipailitkan, Sritex tidak lagi memiliki kewajiban membayar utang kepada bank, sementara kekayaan pribadi pemiliknya masih sangat besar.
“Kasus ini mencerminkan titik lemah sistem hukum dan regulasi korporasi di Indonesia, yaitu pengendali perusahaan bisa menikmati keuntungan besar saat perusahaan berjaya, tetapi kemudian berlindung dari tanggung jawab saat perusahaan mengalami kegagalan yang disebabkan oleh dugaan korupsi,” ujar Dendy dalam keterangan tertulis, Selasa (17/6/2025).
Ia menilai hal ini menjadi preseden buruk yang menunjukkan lemahnya sistem akuntabilitas korporasi dan penegakan hukum di Indonesia. Menurut Dendy, bila terbukti terjadi tindak pidana korupsi atau penggelapan, maka pemilik atau pengendali perusahaan harus bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum.
Dendy menjelaskan bahwa dalam sistem perseroan terbatas, memang berlaku prinsip pemisahan entitas hukum. Artinya, Sritex sebagai PT adalah entitas yang terpisah dari pemiliknya. Namun, prinsip ini tidak bisa dijadikan tameng jika terbukti pemilik menggunakan perusahaan untuk memperkaya diri secara melawan hukum.
“Jika pengendali perusahaan menggunakan perusahaan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara melanggar hukum, seperti dugaan korupsi, maka prinsip piercing the corporate veil seharusnya diterapkan, yakni pengadilan dapat menembus batas entitas hukum dan menyeret tanggung jawab ke pribadi pemilik,” tegasnya.
Untuk itu, ia mendorong dilakukannya audit forensik pasca-pailit untuk memastikan tidak ada pengalihan aset secara ilegal. Jika ditemukan indikasi pelanggaran, maka tanggung jawab pidana harus diterapkan terhadap individu yang terlibat.
Dendy menambahkan, ada sejumlah aturan hukum yang bisa digunakan untuk menjerat pimpinan Sritex. Di antaranya adalah Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, terutama pasal 2 dan 3 yang mengatur tindak pidana yang menyebabkan kerugian keuangan negara. Meskipun Sritex adalah perusahaan swasta, adanya pinjaman dari bank BUMN membuat unsur keuangan negara tetap relevan.
“Selanjutnya, pasal dalam UU Kepailitan dan PKPU juga bisa digunakan jika diduga ada perbuatan curang (fraudulent acts). Jika terbukti, maka aset pribadi bisa ditarik untuk membayar utang, dan dapat dikenai tanggung jawab pribadi atas kerugian,” tandasnya.
Latar Belakang Kasus Sritex
PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara yang berbasis di Solo, Jawa Tengah, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 6 November 2023. Putusan ini diambil setelah serangkaian proses hukum permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh sejumlah kreditur, termasuk bank-bank milik negara (BUMN).
Pailitnya Sritex menimbulkan polemik karena meski perusahaan tak lagi wajib membayar utang kepada kreditur, termasuk bank BUMN, kekayaan pribadi para pemilik dan pengendali perusahaan disebut-sebut tetap utuh dan tidak tersentuh oleh proses hukum. Hal ini memicu kecurigaan adanya pengalihan aset secara tidak wajar, serta dugaan praktik-praktik korupsi dan fraud dalam pengelolaan keuangan perusahaan sebelum pailit.
Sritex sebelumnya dikenal sebagai perusahaan tekstil yang memasok pakaian militer dan seragam dinas untuk berbagai negara. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan mengalami tekanan keuangan yang berat akibat pandemi Covid-19, perubahan pasar global, serta beban utang yang membengkak.
Kasus ini mendapat sorotan luas karena dianggap mencerminkan celah hukum dalam regulasi korporasi di Indonesia, di mana para pemilik perusahaan dapat mengambil keuntungan saat perusahaan sehat, namun lepas dari tanggung jawab ketika perusahaan kolaps. Pailitnya Sritex juga menimbulkan kerugian besar bagi negara, khususnya bank-bank pelat merah yang memberi pinjaman dalam jumlah signifikan.