Intimidasi Digital Kian Marak: Warga Sipil Dibungkam Terkait Isu Judi Online

Kabarjatim.com, Sejumlah aktivis, penulis opini, dan warganet melaporkan menerima teror digital dalam waktu berdekatan, menciptakan kekhawatiran bahwa ini adalah bentuk serangan sistematis terhadap kebebasan berekspresi. Mereka menyebut insiden yang dialami sebagai “teror yang terstruktur dan terencana,” mengingat waktunya yang hampir bersamaan.

Organisasi masyarakat sipil serta pakar teknologi melihat adanya pola tekanan psikologis yang sengaja dibangun untuk melemahkan suara-suara kritis terhadap pemerintah atau elit politik. Akademisi bahkan menilai bahwa rangkaian intimidasi ini menunjukkan regresi dalam perjalanan demokrasi Indonesia.

Kasus ini mulai mencuat sejak munculnya tekanan terhadap opini kritis di media online, diikuti oleh intimidasi langsung kepada individu yang menyuarakan kritik terkait dugaan hubungan pejabat DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, dengan praktik judi online. Salah satu yang menjadi sorotan adalah laporan investigasi majalah Tempo berjudul Tentakel Judi Kamboja yang menyinggung herototo, platform yang kerap diasosiasikan dalam pembicaraan publik mengenai situs-situs judi daring.

Teror Lewat WhatsApp dan Media Sosial

Korban-korban yang menyuarakan kritik, termasuk melalui komentar ringan atau sindiran di platform X (dulu Twitter), menerima pesan pribadi dari nomor tak dikenal. Permintaan penghapusan unggahan datang disertai tautan unggahan mereka yang menyebut nama Dasco. Ketika permintaan ditolak, tekanan meningkat: ancaman menyasar anggota keluarga, hingga rencana penyebaran hoaks tentang korban.

Salah satu korban, Rieswin Rachwell, mengaku diminta menghapus dua unggahan yang menyinggung nama Dasco dalam konteks judi online. Dalam unggahan tersebut, ia hanya mengomentari postingan Tempo dengan kalimat singkat yang mengandung istilah populer dalam dunia judi daring seperti “depo” atau “gacor”.

Data Pribadi Bocor, Teror Meningkat

Kasus ini menunjukkan bahwa pelaku intimidasi tidak hanya mengakses akun media sosial, tetapi juga informasi pribadi seperti nomor ponsel dan bahkan data keluarga korban. Seorang korban mengaku pelaku mengetahui nama istri dan alamat rumahnya. Ini memunculkan kekhawatiran serius soal kebocoran data yang bersumber dari lembaga atau sistem pemerintahan.

Konsultan keamanan digital, Teguh Aprianto, menegaskan bahwa kebocoran data memudahkan aksi teror digital. Informasi pribadi kini bisa diperoleh melalui pihak ketiga yang mengumpulkan data dari berbagai sumber terbuka. Ia juga menyebut, meski belum ada bukti keterlibatan pemerintah secara langsung, lemahnya perlindungan terhadap data pribadi menjadi akar dari masalah ini.

Pemerintah Ditantang untuk Transparan

Kabarjatim telah berupaya mengonfirmasi langsung kepada Dasco, namun belum menerima respons hingga berita ini disusun. Dalam unggahan resminya, Dasco menyatakan dirinya “dikerjai” dan membantah menjadi dalang intimidasi. Pemerintah melalui Hasan Hasbi menyebut tidak antikritik, namun banyak pengamat menilai reaksi resmi cenderung pasif.

Sementara itu, Direktur SAFEnet Nenden Sekar Arum mencatat setidaknya sembilan laporan teror digital per 27 Mei. Ia menyayangkan absennya mekanisme perlindungan yang efektif untuk pengguna media sosial, terutama dalam isu sensitif seperti judi online.

Kebebasan Sipil di Titik Kritis

Intimidasi digital yang dialami warga sipil hanyalah salah satu wajah dari memburuknya kondisi kebebasan berekspresi. Praktik seperti pembungkaman opini, doxxing, dan tekanan psikologis kini makin lazim terjadi. Laporan Freedom House mencatat penurunan skor kebebasan Indonesia secara konsisten sejak 2017 hingga 2025.

Menurut akademisi UGM, Wisnu Prasetya Utomo, Indonesia tengah memasuki fase otoritarianisme kompetitif, di mana demokrasi masih ada secara formal tetapi dijalankan dengan kontrol ketat oleh elite kekuasaan. Teror terhadap warganet dinilai sebagai bentuk konsolidasi kekuasaan melalui ketakutan massal.

Perlawanan Digital: Speak Up adalah Senjata

Meski serangan digital terus terjadi, para korban menyuarakan perlawanan dengan membuka kasus mereka ke publik. Mereka percaya bahwa mengungkap intimidasi bisa mematahkan rasa takut dan membangkitkan kesadaran kolektif.

“Satu-satunya cara melawan intimidasi digital adalah berbicara,” ujar Teguh. “Ketika kita diam, kita memberi mereka ruang untuk menang.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *