Revisi UU Perlindungan Konsumen, Anggota DPR Soroti Mafia Skincare hingga Bahaya Merkuri

KABARJATIM – Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Imas Aan Ubudiyah mendesak pemerintah meningkatkan perlindungan konsumen pengguna kosmetik melalui revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.

Saat ini UU Perlindungan Konsumen belum mampu memberikan perlindungan secara maksimal terhadap konsumen pengguna kosmetik, khususnya pengguna yang terdampak dari penggunaan kosmetik ilegal dan berbahaya.

“Negara seolah-olah tidak hadir dalam melindungi pengguna kosmetik. Kalaupun ada razia kosmetik yang beredar, tapi belum maksimal penegakan hukum terhadap pelanggaran terkait peredaran ilegal itu. Hingga kini, masih banyak kosmetik berbahaya yang beredar di pasaran sehingga konsumen dengan ketidaktahuannya menggunakan dan berdampak fisik serta psikis terhadap pengguna,” kata Imas Aan saat Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Influencer Industri Kosmetik di Gedung DPR Rabu (13/3/2025).

Pada pertengahan Maret 2025, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan 91 merek kosmetik ilegal dan berbahaya sebanyak 4.334 item dengan total kerugian negara sebesar Rp31,7 miliar. Temuan kosmetik berbahaya dan ilegal atau tanpa izin edar ini meningkat 10 kali lipat pada Februari 2025 dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

“Harus ada pemenuhan hak-hak konsumen produk kosmetik termasuk permasalahan overclaim produk, kanal pengaduan, aturan pencantuman spesifikasi produk, pengawasan produk yang beredar serta masukan-masukan terkait di dalam revisi UU Perlindungan Konsumen,” katanya.

Imas mengungkapkan hingga kini masih banyak kosmetik ilegal dan berbahaya yang dijual bebas. Kosmetik ilegal dan berbahaya itu dijual dengan harga murah dan mengklaim dapat memberikan hasil instan kepada penggunanya seperti wajah jadi lebih cerah dan mampu menghilangkan berbagai permasalahan di kulit wajah.

“Padahal penggunaan kosmetik dengan hasil instan ini berbahaya bagi kulit wajah karena mengandung bahan-bahan berbahaya seperti merkuri. Wajah jadi rusak dan membutuhkan waktu pemulihan serta biaya yang tidak sedikit untuk mengobatinya,” katanya.

Ia juga menyoroti masih minimnya fungsi pengawasan dalam memberikan perlindungan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) terhadap konsumen pengguna kosmetik. “BPKN ini seperti tidak ada. Saya bahkan baru tahu ada BPKN setelah duduk di Komisi VI. Begitu tumpul dan tidak ada taringnya BPKN ini. Kami minta BPKN semakin meningkatkan fungsi dan pengawasan kepada para pengguna konsumen,” tambahnya.

BPKN, tegas Imas, harus berkoordinasi dengan lembaga terkait menangani permasalahan konsumen secara aktif di berbagai industri termasuk konsumen produk obat dan makanan. “BPKN harus menindaklanjuti aduan konsumen produk kosmetik dalam rangka mencegah terjadinya dampak negatif dari penggunaan kosmetik ilegal. Jadi tidak hanya menunggu pengaduan tapi harus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Kemenperin, Kemendag hingga Kepolisian RI,” jelasnya.

Imas juga mendesak BPKN koordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan negara pada konsumen dan siapa pun yang bersuara membongkar indikasi mafia skincare.

“Kami juga mendesak BPKN koordinasi dengan Polri dan Propam terkait penanganan kasus kosmetik agar tidak terjadi jual beli perkara oleh aparat kepolisian,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *