JAKARTA – Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyatakan akan menyiapkan road map dan perencanaan strategis mengenai reforestasi 12 juta hektare. Hal ini menindaklanjuti arahan Presiden RI yang disampaikan melalui pidato Utusan Khusus Presiden, Hashim S. Djokohadikusumo di COP 29 di Baku, Azerbaijan.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengingatkan, rencana tersebut berpotensi menyebabkan penggusuran dan melanggengkan konflik agraria jika tidak dijalankan secara matang dan penuh kehati-hatian. Terutama tanah-tanah, pemukiman masyarakat dan desa yang selama ini tumpang-tindih dengan klaim kawasan hutan.
“Perlu prinsip keterbukaan dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan kebijakan ini. Mana lokasi dan kawasan hutan yang dijadikan program reforestasi. Jangan sampai lokasi-lokasi tersebut justru menyasar pemukiman, tanah garapan dan desa-desa yang selama ini diklaim secara sepihak sebagai kawasan hutan. Apalagi melihat pendekatan pemerintah yang selama yang sangat legal formal dan minus partisipasi masyarakat karna dijalankan secara top-down,” kata Sekretaris Jendral KPA Dewi Kartika.
Menurut data BPS, hingga tahun 2023 terdapat 2.768 desa yang dinyatakan berada dalam kawasan hutan. Kenyataan ini adalah dampak dari kebijakan pemerintah yang masih menggunakan ajaran hukum kolonial yakni azas domein verklaring. Bahwa setiap wilayah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya adalah milik negara. Penerapan azas ini melalui pengukuhan “hutan negara” yang berlaku sejak UU No.41/1999 tentang Kehutanan, sebagai pengganti dari UU Pokok Kehutanan No.5/1967.
Penerapan tersebut telah mengakibatkan pertentangan klaim antara penduduk desa dan pemerintah yang berujung pada konflik agraria. Periode 2015-2023, KPA mencatat sedikitnya terjadi 213 letusan konflik agraria akibat klaim kawasan hutan. Letusan konflik tersebut terjadi di atas tanah seluas 1,7 hektare dengan korban 81 ribu rumah tangga. Akibatnya, pemerintah desa dan penduduk desa tidak dapat mengakses dana pembangunaan dan kehilangan hak-hak dasar mereka. Tidak mengherankan desa-desa yang berada dalam klaim kawasan hutan tersebut merupakan kantong-kantong kemiskinan.
KPA sejak 2016 telah mengusulkan sebanyak 589 desa dengan luas 1,2 juta hektar sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Desa-desa tersebut selama ini diklaim secara sepihak sebagai “kawasan hutan” oleh pemerintah. Namun sampai berakhirnya periode pemerintahan Jokowi, tidak sejengkal pun tanah tersebut yang berhasil dikembalikan kepada masyarakat sebagai upaya pemulihan hak mereka.
Seharusnya, di era pemerintahan baru ini, Kementerian Kehutanan justru bekerja mengakselerasi penyelesaian konflik agraria kehutanan dan mengurai kemandegan-kemandegan yang terjadi selama ini. Apalagi Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni merupakan Wamen ATR/BPN sebelumnya. Artinya, dia sudah paham titik persoalan yang terjadi sehingga mampu melahirkan terobosan kebijakan.
Rencana reforestasi ini tidak hanya berpotensi menghambat proses penyelesaian konflik agraria dari klaim kehutanan. Namun juga kemunduran, sebab berpotensi menjebak masyarakat dalam pusaran konflik agraria.