JAKARTA – Kurban merupakan ibadah yang merepresentasikan keikhalasan, ketaatan dan pengorbanan untuk kepentingan spiritual dan sosial. Tidak hanya memiliki aspek keagamaan, dalam kehidupan berbangsa makna kurban adalah implementasi sikap kerelaan untuk menekan ego pribadi dan kelompok untuk kepentingan mashlahah yang lebih besar.
Hal serupa dikatakan Dosen Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, Dr. Suaib Tahir, Lc, MA. Menurutnya Idul Adha beberapa hari lalu itu sendiri memiliki makna yang sangat dalam bagi umat Islam, yang dalam konteks ego pribadi. Ia menilai bahwasanya berkurban adalah bentuk pencegahan terhadap sikap egoism,yaitu melatih diri untuk menekan hawa nafsu dan kerelaan untuk berbuat sesuatu yang mendatangkan maslahah bagi orang banyak.
“Jika manusia mampu menekan hawa nafsu dan menyadari bahwa berkurban bukan saja dapat pahala tetapi juga bisa memberi makan bagi orang lain. Mereka yang memiliki kepedulian tinggi terhadap orang lain pasti mampu menekan egoisme dan kepentingan kelompoknya,” ujar Dr. Suaib Tahir di Jakarta, Minggu (17/7/2022).
Ia melanjutkan, makna kurban dalam Islam sendiri memiliki arti yang dalam dan menjadi panutan bagi umat. Selain karena ini merupakan tuntunan dalam agama juga sebagai panutan bagi sayyidul anbiya Nabi Ibrahim AS, yang telah rela dan bersedia mengorbankan apa yang dia cintai dalam hidupnya yaitu anaknya Nabi Ismail yang merupakan putra Siti Hajar.
“Karena apa yang dilakukan Nabi Ibrahim merupakan bentuk totalitas dari kepatuhan dan kecintaan terhadap tuhannya sehingga ia rela mengorbankan apa yang dia cintai dalam hidupnya,” kata Direktur Damar Institute yang bergerak dalam bidang Kontra Narasi dan Idiologi dari paham Radikal Terorisme ini.
Pria yang juga menjabat sebagai Sekertaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Besar Darud Da’wah wal Irsyad ini, juga menjelaskan sejatinya sikap saling membantu dan tolong menolong dalam segala hal merupakan output yang diharapkan oleh Allah SWT kepada umatnya dalam memperingati idul qurban.
“Salah satu output yang diharapkan Allah dari umatnya adalah bagaimana seseorang bisa totalitas dalam beragama artinya semua aspek kehidupan seseorang harus selalu erat kaitannya dengan kebersamaan solidaritas saling mrmbantu dan tolong menolong dalam segala hal,” ujar Koordinator Gugus Tugas Pemuka Agama BNPT.
Pria yang juga anggota Komisi Ukhuwah Islamiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menilai, agar terbiasa rela dan tidak egois, perlu bagi umat untuk terlebih dahulu melihat dan bertanya kepada dirinya sendiri siapa sebenarnya dirinya, bagaimana harus hidup dan untuk apa dirinya harus hidup. Pertanyaan tersebut, menurutnya haruslah bisa terjawab untuk memunculkan sikap kerelaan.
“Jika kita mampu menjawab pertanyaan pertannya ini dan memahaminya dengan baik, maka otomatis akan tercipta dalam diri kita rasa kebersamaan rasa selalu ingin tolong menolong, berempati dan mencintai sesama,”kata Peraih Pasca Sarjana dari Islamic University Khartoum, Sudan ini.
Terlebih lagi dalam Islam telah dijelaskan dan diperintahkan agar umat senantiasa menjaga kebersamaan dan solidaritas dalam tolong menolong yang juga selaras dengan semangat untuk memangkas sikap intoleran dan ekslusif untuk membangun sikap peduli, dan terbuka untuk mewujudkan kepentingan bersama.
“Dalam Islam banyak sekali anjuran kepada umat Islam agar selalu menjaga kebersmaaan solidaritas antar sessma saling tolong menolong dalam kebaikan. Kalau seseorang tidak memperhatikan hal ini maka sesungguhnya ke-Islamannya perlu dipertanyakan,”ujarnya.
Terakhir, pria yang selama 29 tahun pernah menjadi staf ahli Kedutaan Besar Republik Indonesia (Kedubes RI) di Sudan ini berharap pemerintah serta tokoh agama juga mampu mendorong umat untuk senantiasa bersikap rendah hati dan mulai melakukan segala sesuatunya untuk kemaslahatan umat.
”Karena itu setiap tokoh atau ulama harus selalu mengedepankan pendekatan-pendekatan lunak dalam berdakwah dan membimbing masyarakat karena dengan demikian umat akan mengikutinya dan mentaatinya, memberikan contoh yang baik bagi umatnya baik dalam sikap maupun dalam gagasan gagasan,” kata Dr. Suaib mengakhiri.