JAKARTA-Jelang Perhelatan Muktamar NU ke-34, di Pondok Pesantren Darussadah, Lampung, Universitas Paramadina menggelar peluncuran buku biografi KH. Yahya Cholil Staquf: Derap Langkah dan Gagasan. Peluncuran buku yang ditulis oleh Septa Dinata, M.Si. ini dibarengi dengan diskusi dan bedah buku diselenggarakan di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina, Minggu 19 Desember 2021, lalu.
Dalam Kegiatan ini, turut dihadiri Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D, dan dalam sambutannya menyatakan bahwa buku tersebut membahas buah pemikiran KH. Yahya Cholil Staquf. “Yang dibahas adalah tokoh NU dan organisasi NU tentu bersama Muhamadiyah juga merupakan organisasi islam terbesar bukan hanya di Indonesia tetapi juga dunia, peranannya dalam demokrasi sangat penting dan menulis tokoh-tokohnya juga penting. Nah karena itu ini harus dibahas kritis boleh, tidak apa-apa asal ada argumen,” paparnya.
Acara yang dimoderatori oleh oleh Joko Arizal, MA ini diisi oleh empat pembicara yakni Dr. M. Subhi Ibrahim, MA Kaprodi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Dr. M. Qodari, S.Psi, MA Pengamat Politik, Dr. Laode Ida seorang Sosiolog, dan Septa Dinata, M.Si.
Septa Dinata menerangkan sejarah bagaimana ketertarikannya dengan sosok seperti KH. Yahya Cholil Staquf. “Sosok Gus Yahya awalnya cukup asing untuk saya, tetapi seketika berubah setelah kontroversi beliau berkunjung ke Israel. Lalu kemudian sempat juga membaca makalah beliau ketika presentasi di Islamic Liberty Forum di Kuala Lumpur, saya kira sosok seperti ini sedang kosong di NU dan beliau yang bisa mengisi kekosongan itu.” Katanya.
“Kemudian saya membaca buku beliau sendiri yang berjudul Perjuangan Besar NU, saya melihat ini eloborasi yang luar biasa dari beliau, dan banyak hal sebetulnya kalau kita tidak membaca buku itu memang potensi miss understanding terhadap Gus Yahya ini luar biasa bisa. Apalagi kalau kita sudah punya asumsi kalau berkunjung ke Israel itu berarti pro Israel, itukan asumsi yang sangat latah” katanya
“Kalau kita baca elaborasi dari beliau, sebetulnya reasoning beliau ke Israel sebagai puncaknya sebetulnya, dalam buku ini salah satu poin yang saya tekankan adalah terkait dengan kunjungan beliau ke Israel,” terangnya yang diterima Kabarjatim.
Lebih lanjut Septa menerangkan latar belakang sosok Gus Yahya beserta gagasan-gagasan beliau, “Yang menarik dari seorang Gus Yahya adalah kemampuan beliau dalam meneropong perubahan tatanan global. Ada kesadaran penting disitu kalau kita ingin bicara apa yang perlu dilakukan oleh Nahdlatul Ulama, lebih besarnya Umat Islam atau Bangsa Indonesia dan lebih besarnya lagi tentu komunitas global,” katanya.
Dr. Laode Ida yang pernah menulis tesis tentang Nahdlatul Ulama mengungkap kekagumannya kepada keluarga besar KH. Yahya Cholil Staquf yang memiliki tradisi intelektual yang kuat. Dua sosok yang dikaguminya adalah KH. Cholil Bisri dan KH. Mustofa Bisri, Gus Yahya menurutnya adalah figur yang unik “Background Yahya Staquf membentuk dia untuk membangun, lebih bisa berinteraksi lebih luas ke komunitas-komunitas lintas identitas lintas budaya. Keunikan lainnya ternyata dia membangun komunikasi internasional yang cukup bagus itu saya lihat riwayatnya. Keunikan lainnya bahwa Yahya Staquf ini merupakan keturunan Madura dan masuk kelompok inti dalam NU. Kelompok inti dalam NU sangat berperan untuk mengisi formasi di NU maupun merepresentasikan NU ke luar. Maka peluang Yahya Staquf cukup bagus di situ disamping latar belakangnya,” tuturnya.
Dr. M. Subhi Ibrahim, MA menyampaikan bahwa penulis berhasil menempatkan Gus Yahya dalam konteks dunia pesantren, NU, dan dalam politik kebangsaan. “Buku ini memberikan konteks yaitu jejaring dari si tokoh ini sehingga kita mampu sedikit memahami kenapa kok Gus Yahya misalnya ke Israel, itu sulit sekali dipahami oleh orang yang tidak mengerti konteks jejaring Gus Yahya tadi, keterpengaruhannya, lingkungannya dan seterusnya. Jadi dengan hadirnya buku ini akan lebih memberikan semacam bantuan bagi kita untuk memahami sosok Gus Yahya,” katanya.
Subhi menyatakan bahwa geneologi pemikiran Gus Yahya yang bercorak Gus Dur maka ada irisan dengan paramadina. “kalau Paramadina kan taglinenya adalah Keislaman, Keindonesiaan, Kemodernan. Jadi islam yang dimaksud adalah islam yang punya konteks ke Indonesiaan dan Kemodernan. Kalau Gus Dur saya membacanya ada tiga juga yaitu keislaman pastinya sebagai dasar rujukan nilai, lalu Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Jadi selalu gusdur bicara dalam konteks kemanusiaan dan ternyata Gus Yahya juga seperti itu,” tambahnya.
Pembicara terakhir dari acara ini Dr. M. Qodari, S.Psi, MA menyinggung kemiripan latar belakang pendiri Paramadina Cak Nur dan Gus Yahya dimana keduanya merupakan warga NU dan memiliki latar belakang organisasi yang sama yaitu HMI.
“Gus Yahya ini latarbelakangnya NU tapi dia organisasinya adalah HMI. Inikan keluar dari tanda kutip pakemnya keluarga besar NU yang biasanya kalau organisasi mahasiswa itu ke PMII tapi ini malah ke HMI yang notabene dianggap sebagai organisasi mahasiswa islam modernis. Kita sekarang ada di Universitas Paramadina yang ilham terbesarnya adalah Nurcholish Madjid. Siapa Nurcholish Madjid ya sama persis seperti Gus Yahya. Latar belakang sosiologisnya adalah Nahdlatul Ulama tetapi latar belakang aktivisnya adalah HMI, menjadi salah satu tokoh terbesar dalam gerakan Himpunan Mahasiswa Islam,” pungkasnya.
Beliau juga menambahkan bahwa buku ini menjadi penting karena menjelaskan soal sosok dalam NU yang merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia. “Buku ini menjadi penting, karena NU merupakan ormas islam terbesar. 1/3 masyarakat Indonesia adalah NU. NU baik maka mayarakat Indonesia baik, NU buruk maka masyarakat Indonesia buruk.” Tuturnya.
Kegiatan yang dilaksanakan secara hybrid ini dihadiri oleh 70 orang audience luring yang secara ketat menerapkan protokol kesehatan dan 90 audience yang hadir secara daring baik melalui zoom dan yang menonton melalui streaming youtube Universitas Paramadina. Kegiatan yang berlangsung selama hampir 3 jam ini berakhir tepat pukul 16.15 WIB.