JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda Ansor mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta terkait vonis 1 tahun 4 bulan penjara terhadap dua pemuda asal Lampung yang terlibat dalam kasus penyelundupan satwa dilindungi. Memori banding RN dan MH tersebut diterima langsung oleh Panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Iyus Yusuf, pada 2 Desember 2024.
LBH PP Ansor selaku kuasa hukum terdakwa menyatakan keberatan terhadap Putusan Nomor Perkara 678/Pid.B/2024/PN. Jkt.Brt yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada 19 November 2024.
Dalam putusannya, PN Jakarta Barat menyatakan bahwa RN dan MH terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana turut serta mengangkut satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
Sebagai konsekuensi dari putusan tersebut, kedua terdakwa dijatuhi pidana penjara masing-masing 1 tahun 4 bulan dan denda sebesar Rp20.000.000,00. Jika denda tidak dibayar, kedua terdakwa akan menjalani pidana kurungan selama 2 bulan.
Penasihat Hukum terdakwa, Fendy Ariyanto, S.H.,M.H, menyatakan keberatan dengan vonis tersebut. Menurut Fendy, berdasarkan keterangan saksi, ahli, dan pengakuan para terdakwa, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka dengan sengaja melakukan penyelundupan.
Oleh karena itu, Fendy berpendapat terdakwa seharusnya tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a Jo Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
“Juga dari fakta yang menyeluruh atas tidak terpenuhinya tuntutan dakwaan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah terpenuhi,” ujar Fendy dalam keterangannya, Jumat (6/12/2024).
Fendy menambahkan, para terdakwa bukanlah pelaku utama dalam kasus ini, dan tidak terbukti memiliki hubungan langsung dengan penjual atau pembeli. Selain itu, para terdakwa tidak memiliki niat jahat atau permufakatan jahat dalam tindakannya, baik secara subjektif maupun objektif.
Lebih lanjut, Fendy menilai tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dan vonis yang diberikan oleh Majelis Hakim tidak mencerminkan rasa keadilan yang seharusnya. “Pidana administratif hingga sanksi pidana, dalam perkara ini seharusnya bersifat ultimum remedium, bukan primum remedium,” kata Fendy.
Fendy juga menegaskan Majelis Hakim tingkat pertama yang dianggap tidak mempertimbangkan fakta-fakta dan analisis yuridis yang disampaikan, serta bantahan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum.
“Karena alasan-alasan tersebut, para terdakwa mengajukan banding, karena putusan pengadilan tingkat pertama tidak mencerminkan rasa keadilan. Kami berharap agar keberatan-keberatan kami dapat dipertimbangkan,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris LBH Ansor, Taufik Hidayat, S.H., M.H. menjadikan pernyataan saksi ahli pidana Albert Aries sebagai dasar pihaknya mengajukan banding.
Dalam persidangan dengan tegas, Albert Aries berpendapat bahwa jika tidak dapat membuktikan adanya kesengajaan niat, tujuan serta permufakatan jahat dari terdakwa, terdakwa tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana.
Taufik Hidayat, menegaskan, saksi ahli secara rinci menyampaikan bahwa jika dalam perkara a quo terdapat kesesatan fakta. “Terdakwa benar-benar tidak mengetahui jika seekor hewan yang dibawa merupakan hewan yang dilindungi,” ujarnya.
Bahkan, Taufik menyebut, saksi ahli telah memberikan pandangan bahwa tidak ditemukan niat jahat dan permufakatan jahat antara terdakwa dengan pelaku utama. Sehinga, ujar taufik, dalam perkara a quo, berlaku asas ignorantia facti excusat yaitu ketidaktahuan terhadap fakta menjadi alasan atau dasar penghapus pidana.
“Makanya sekali lagi, setiap tindakan yang dilakukan dan disetujui atas dasar kesesatan fakta (error factie) dapat dimaafkan dan tidak boleh dipidana,” kata Taufik Hidayat.