Gaji Rp 350 Ribu, Asa Yuliana di Balik Dinding Bambu yang Miring

JOMBANG – Di tengah gemerlap pembangunan dan riuhnya kemajuan Kabupaten Jombang, tersembunyi sebuah kisah pilu yang luput dari sorotan. Kisah tentang pengabdian tulus seorang guru, yang ironisnya, harus berjuang keras hanya untuk memiliki tempat berteduh yang layak.

Namanya Yuliana Emawati. Di usianya yang ke-43, ia adalah seorang single parent yang setiap hari mengayuh sepeda ontel selama hampir setengah jam, demi menunaikan tugas mulianya: mendidik tunas-tunas bangsa sebagai guru TK dan Playgroup di Kecamatan Sumobito.

Namun, pengabdian yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu tak lantas menjamin kehidupan yang tenang. Di Dusun Johowinong, Desa Johowinong, Kecamatan Mojoagung, Jombang, Yuliana dan putrinya harus tinggal di rumah yang sangat memprihatinkan.
Selama sembilan tahun, rumah itu berdiri seadanya: dindingnya terbuat dari triplek dan anyaman bambu (gedek), dan lantai beralaskan tanah yang ditutup terpal seadanya, kecuali di teras dan ruang tamu yang berlapis semen berlubang.

Kondisinya kian meresahkan. Atapnya bocor, dinding bambu yang miring harus ditambal dengan banner bekas agar tidak roboh. Kerusakan parah ini sudah terjadi dua tahun belakangan, namun tak kunjung bisa diperbaiki, terbentur oleh keterbatasan ekonomi yang mencekik.

“Kalau hujan deras, air pasti masuk. Kami terpaksa tidur di kamar yang tidak bocor agar tetap bisa beristirahat,” tutur Yuliana dengan nada lemah, matanya menyiratkan kelelahan mendalam.“

Kalau angin kencang, suara banner itu keras sekali menahan angin. Saya dan anak selalu cemas,” tambahnya, menggambarkan ketakutan yang menghantui mereka setiap malam.

Lalu, berapa upah untuk pengabdian yang begitu besar? Yuliana hanya menerima gaji antara Rp350 ribu hingga Rp400 ribu per bulan. Angka yang jauh dari kata layak, bahkan untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, apalagi untuk perbaikan rumah.

“Saya nggak punya uang untuk memperbaiki rumah,” ungkap Yuliana singkat.

Untuk menambal kebutuhan hidup, ia terpaksa putar otak, berjualan bahan-bahan dapur, pernak-pernik, dan kerudung secara kecil-kecilan.

Ironisnya, di tengah keterbatasan ini, bantuan perbaikan rumah tak kunjung datang. “Saya tidak pernah dapat bantuan PKH atau lainnya, hanya pernah dapat sembako dari Bupati Jombang. Saya juga tidak tahu bagaimana caranya meminta bantuan untuk perbaikan rumah,” ujarnya polos.

Kisah Bu Yuliana kini mulai menarik perhatian pemerintah daerah. Kepala Bidang Pengembangan Kawasan Pemukiman Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kabupaten Jombang, Ahmad Rofiq Ashari, menyatakan bahwa rumah Bu Yuliana secara data dan informasi memang layak untuk mendapat bantuan.

Saat ini, Dinas Perkim tengah gencar mendata warga dengan rumah tidak layak huni, seiring dengan pengajuan bantuan bedah rumah sekitar 10 ribu unit oleh Bupati Jombang kepada pemerintah pusat.

“Terkait kondisi rumah Bu Yuliana, memang menunjukkan kondisinya layak untuk mendapat bantuan. Kami akan melakukan pengecekan agar tidak ada warga yang terlewat,” jelas Ahmad Rofiq Ashari.

Di tengah janji dan harapan yang menggantung, Yuliana Emawati tetap mengayuh sepedanya, membawa semangat mengajar dan impian sederhana: memiliki rumah yang kokoh, tempat ia dan putrinya bisa beristirahat tanpa dihantui ketakutan akan hujan dan angin kencang. Asa itu kini dititipkan pada perhatian pemerintah dan kepedulian sesama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *