LBH Sarbumusi Soroti Cara Pemerintah Atasi Gelombang PHK Massal 

JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (LBH Sarbumusi) menyayangkan langkah pemerintah membentuk Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN) untuk mengatasi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja massal.

Alih-alih mengevaluasi sistem ketenagakerjaan dan membenahi iklim industri, kebijakan ini dianggap sebagai jalan pintas simbolik semata. “LBH Sarbumusi melihat respons pemerintah melalui pembentukan Satgas PHK dan DKBN sebagai langkah populis dan tidak menyentuh jantung persoalan struktural,” ujar pengurus Departemen Kajian LBH DPP K-Sarbumusi Brahma Aryana di Jakarta, Jumat (20/6/2025).

Lantaran itu LBH Sarbumusi mendesak pemerintah segera mengevaluasi kembali keputusan pembentukan Satgas PHK dan DKBN. Sebab, prioritas utama seharusnya adalah penguatan kelembagaan Kemenaker, reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang substansial, perluasan jaring pengaman sosial yang memadai, dan pemulihan kepercayaan publik melalui transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran.

Dalam pandangannya, Brahma menekankan tanpa reformasi struktural yang mendalam dan keberanian politik untuk berpihak pada buruh/pekerja, krisis PHK akan terus menjadi rem darurat bagi pertumbuhan nasional dan mengancam stabilitas sosial-ekonomi bangsa. Pasalnya, PHK kini telah melanda berbagai sektor di Indonesia, mulai dari manufaktur, digital, hingga tekstil dan startup – yang tidak hanya mengorbankan para pekerja formal, melainkan pekerja non-formal dan informal.

Data PHK teraktual menunjukkan skala krisis yang memprihatinkan. Per Mei 2025, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengungkapkan jumlah PHK mencapai 26.455 kasus. Provinsi yang menyumbang kasus PHK paling tinggi adalah Jawa Tengah. Berbeda dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) yang mencatat jumlah PHK telah mencapai 73.992 kasus per Maret 2025. Apindo bahkan memproyeksikan bahwa lebih dari 250.000 pekerja akan terkena PHK sepanjang 2025.

Jumlah data tersebut linear dengan kenaikan jumlah klaim Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) BPJS Ketenagakerjaan pada 2025 yang secara rata-rata jauh lebih besar dari 2022-2024. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengungkapkan, klaim JKP selama hingga April 2025 mencapai 52.850 klaim (13.210 klaim JKP/bulan).

“Kami berpandangan, krisis PHK ini bukan hanya soal statistik, melainkan dampak sistemik yang menggerus kepercayaan masyarakat. Bank Indonesia, pada Mei 2025, telah mengingatkan bahwa tren PHK ini bisa menjadi rem darurat bagi pertumbuhan nasional,” tegas Brahma.

Berikut 9 catatan LBH Sarbumusi terhadap pembentukan Satgas PHK dan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional (DKBN): 

1.Sindrom Satganisasi dan Ketidakpercayaan Diri Pemerintah

Pembentukan Satgas PHK adalah gejala “sindrom Satganisasi”—respons populis jangka pendek untuk menambal masalah sistemik. Ini secara telanjang menandakan bahwa pemerintah tidak percaya diri terhadap birokrasi ketenagakerjaan yang dimiliki negeri ini, padahal Kementerian Kemenaker memiliki struktur berjenjang secara nasional hingga tingkat kabupaten/kota se-Indonesia.

2. Redundansi Kelembagaan dan Tumpang Tindih Kewenangan

Karakteristik DKBN tumpang tindih dengan Lembaga Kerja Sama Tripartit, Dewan Pengupahan, dan Komite Jaminan Sosial Nasional. Sementara itu, Satgas PHK turut menduplikasi kerja Pengawas Ketenagakerjaan dan mediator hubungan industrial.

Alih-alih mengevaluasi dan memperkuat sistem kelembagaan yang sudah ada, langkah ini justru memperlemah kejelasan struktur dan memboroskan anggaran negara yang saat ini gencar melakukan efisiensi. Pasal 175 dan 176 UU Ketenagakerjaan secara tegas telah menetapkan pengawasan dan pembinaan ketenagakerjaan sebagai tugas pemerintah melalui pejabat pengawas ketenagakerjaan pusat hingga daerah.

3. Tidak Menyentuh Akar dan Krisis Perlindungan

Gelombang PHK terjadi bukan karena lemahnya koordinasi, melainkan akibat kebijakan deregulatif pasca-Undang-Undang Cipta Kerja, kontrak fleksibel tanpa batas, dan lemahnya sistem Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Satgas PHK dan DKBN tidak menyentuh akar persoalan ini, menjadikannya sekadar simbol tanpa daya perubahan struktural.

4. Memperpanjang Alur Birokrasi dalam Penanganan

Pembentukan Satgas PHK dan DKBN justru menambah mata rantai baru dalam birokrasi ketenagakerjaan. Kini, muncul entitas baru yang tidak jelas posisi fungsionalnya dalam rantai pengambilan keputusan, padahal sebelumnya buruh atau pengusaha cukup berurusan dengan pengawas ketenagakerjaan, mediator, atau dinas tenaga kerja. Pola ini jelas akan bertentangan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta berpotensi mengaburkan asas non-duplicity.

5. Mengaburkan Tanggung Jawab Negara terhadap Kesejahteraan Buruh

Dengan membentuk organ baru, negara cenderung “melimpahkan” tanggung jawab kesejahteraan pekerja pada forum-forum ad hoc, alih-alih memperkuat peran regulator formal. Hal ini justru menjauhkan buruh dari akses keadilan, memperlemah pengawasan, dan memicu krisis kepercayaan terhadap negara.

6. Menegaskan Kebutuhan Reformasi Struktural, Bukan Solusi Tambal Sulam

Solusi terhadap krisis PHK dan kesejahteraan buruh harus berbasis pada reformasi sistem pengupahan, perluasan jaminan sosial, penguatan pengawasan, dan keberpihakan anggaran. Satgas PHK dan DKBN hanya menutupi absennya kemauan politik untuk melaksanakan reformasi tersebut secara menyeluruh dan berkeadilan.

7. Mengabaikan Dimensi Kesejahteraan dan Kesehatan Mental Pekerja

Satgas tidak memiliki pendekatan psikososial terhadap buruh yang kehilangan pekerjaan, padahal trauma PHK sangat nyata dan berpotensi menjadi faktor kriminogen atau pencetus kriminalitas.

8. Berpotensi Menambah Akumulasi Kegagalan Lembaga Negara Ad Hoc

Pembentukan Satgas PHK dan DKBN hanya akan menambah panjang daftar lembaga negara ad hoc yang dibentuk secara reaktif, tanpa desain kelembagaan yang jelas, tidak akuntabel, dan akhirnya gagal menjalankan mandat substantifnya. Ini mencerminkan defisit tata kelola kelembagaan ( institutional governance deficit ) yang kian akut.

9. Rentan Digunakan sebagai Instrumen Politik dan Melemahkan Gerakan Buruh

Berangkat dari tidak terbangunnya melalui partisipasi yang bottom-up dan mekanisme transparan, Satgas PHK dan DKBN rawan dijadikan alat legitimasi elit, bukan alat perjuangan buruh. Ini membahayakan prinsip independensi gerakan buruh sendiri.

Negara telah kembali menunjukan ketidakmampuannya dalam mengantisipasi dan menanggulangi fenomena krisis yang menyebabkan memudarnya legitimasi pemerintah dalam menjalankan amanat konstitusional bagi pekerja/buruh sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 27 (2), 28D (2), dan 28H (1) UUD 1945.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *