Membedah Batas Legal Outsourcing: Pekerja Wajib Tahu!

“Outsourcing dihapus?” Pertanyaan ini makin sering terdengar di lingkungan kerja sejak berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja.

Meskipun UU Cipta Kerja sudah cukup lama disahkan terhitung sejak Oktober 2020 dan mengalami revisi tahun 2023, dampaknya baru benar-benar terasa dalam praktik hubungan industrial hingga tahun 2025 ini. Banyak pekerja yang menyangka sistem ini sudah tidak berlaku karena tidak diperbolehkan lagi. Namun berdasarkan fakta dalam ketenagakerjaan, sistem outsourcing masih sah secara hukum melainkan dengan penyesuaian atau batasan yang ketat dan wajib dipahami.

Tulisan ini hadir untuk mengkaji berdasarkan realita yang ada. Di balik sebuah istilah “tenaga alih daya,” terdapat efek nyata yang bersinggungan dengan hak para pekerja, mulai dari kesenjangan soal upah, status kerja, sampai jaminan bagi masa depan dalam karir yang dirintis. Kita coba mengurai batasan legal outsourcing di Indonesia untuk menjawab pertanyaan penting: “sampai mana praktik ini boleh dilakukan, dan kapan saat adanya indikasi melanggar hukum?”

Jika pembaca berstatus sebagai karyawan kontrak, telah atau sedang bekerja melalui vendor, dan tidak yakin dengan status kerja, artikel ini wajib dipahami. Karena sadar hukum bukan lagi sebuah pilihan, melainkan kebutuhan.

Apa Itu Outsourcing dalam Kacamata Hukum?

Sederhananya, outsourcing adalah sistem atau iklim kerja, di mana perusahaan memakai jasa pekerja dari perusahaan lain (vendor) untuk mengerjakan tugas tertentu. Dalam hukum di Indonesia, praktik ini dikenal sebagai alih daya dan regulasi ini pertama kali diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, hingga mengalami pembaruan di UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diperinci lagi lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam PP ini mengatur perihal skema PKWT, dari definisi, waktu kerja, perpanjangan, kompensasi, sampai jaminan perlindungan pekerja atau yang disebut sebagai buruh.

Dalam aturan ini, hubungan kerja terjadi secara legal antara pekerja dan perusahaan outsourcing (vendor), bukan dengan perusahaan tempat pekerja itu bertugas dan ditugaskan (user). Artinya, jika seketika ada masalah seperti upah yang tidak dibayarkan atau PHK secara sepihak, maka secara hukum pekerja dapat menuntut vendor outsourcing, bukan pada perusahaan.

Pekerjaan Inti vs Pekerjaan Penunjang

Batasan krusial dalam praktik outsourcing diketahui dari jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Muatan PP 35/2021 Pasal 18 menjelaskan bahwa sistem outsourcing hanya boleh dilakukan untuk kegiatan penunjang dan/atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi utama.

Contoh:
 Berlaku di perusahaan manufaktur yang menjadi pekerjaan utama adalah operator mesin, dan pekerjaan penunjang contohnya tenaga kebersihan (cleaning service) dan keamanan.

 Berlaku di perusahaan e-commerce yang menjadi pekerjaan utama adalah pengelola sistem distribusi dan pekerjaan penunjang contohnya kurir dan layanan pelanggan (customer service).

 Berlaku sektor perbankan yang menjadi pekerjaan utama adalah teller dan analis kredit dan pekerjaan penunjang contohnya satpam, office boy, juga tenaga kebersihan.
Meskipun demikian, pada praktiknya, batasan ini sering kabur. Sebagian atau beberapa perusahaan tetap meng-outsourcing-kan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya masuk dalam pekerjaan inti.

Dapat diketahu bahwa banyak operator produksi yang bekerja di pabrik ataupun para pekerja sales di perusahaan retail yang menjadi buruh outsourcing, padahal posisi tersebut bsa dibilang esensial karena berhubungan langsung dengan inti (core) bisnis. Praktek ini dinilai bertentangan dengan prinsip yang ada dalam PP 35/2021. Adanya klaim ini, dilihat dari laporan serikat buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengatakan bahwa banyak perusahaan besar yang tetap dan masih memberlakukan sistem outsourcing di pekerjaan inti meskipun sudah diperingatkan.

Risiko Pekerja Outsourcing

Outsourcing sah secara hukum, meskipun sistem ini mengandung sejumlah risiko rentan bagi pekerja:

 Tidak ada hubungan kerja langsung dengan user, sehingga pekerja sulit memperjuangkan hak-hak nya saat terjadi konflik di ketenagakerjaan.

 Status kerja yang tidak pasti, seperti kontrak kerja yang pendek tanpa jaminan perpanjangan kontrak.

 Ketimpangan hak, contohnya dalam pengupahan, tunjangan, maupun kesempatan karier yang tidak didapat, dibanding dengan status pekerja tetap.

 Rentan PHK sepihak, sewaktu-waktu bisa pemutusan kerja, karena vendor bisa memutus hubungan kerja dari user kapanpun ia mau.

Laporan dari International Labour Organization (ILO) menyebutkan bahwa pekerja outsourcing di Asia Tenggara rata-rata memiliki penghasilan 30–40% lebih rendah dibanding pekerja tetap untuk jenis pekerjaan yang sama. Dan hasil survei terkait menunjukkan bahwa pekerjaan outsourcing memiliki tingkat kepuasan kerja yang lebih rendah, terutama dalam aspek jaminan sosial, stabilitas kerja, dan kejelasan atau jenjang karier.

Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Perburuhan (LKAIP) juga mencatat bahwa lebih dari 70% pekerja di sistem outsourcing tidak mendapatkan kejelasan jenjang karier.

Hak Para Pekerja Outsourcing Menurut Regulasi

Meski dengan status kerja bukan sebagai pekerja langsung, para outsourcing tetap dilindungi oleh hukum ketenagakerjaan. Legalitas atau poin penting dari PP 35/2021 dan peraturan turunan lainnya:

 Pasal 19 PP 35/2021 menjelaskan bahwa perusahaan alih daya yang berhubungan dengan vendor, atau kontraktor wajib memberikan perlindungan berupa upah layak, kesejahteraan pekerja, kondisi kerja yang baik, dan ruang perselisihan atas hubungan industrial sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 Kepmenaker No. 72 Tahun 2022 memberi kejelasan bahwa para pekerja outsourcing masih berhak merasakan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan seperti JKK, JHT, JKM, dan JKP.

Pada tahun 2023 Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, di berbagai berbagai kesempatan telah menekankan bahwa praktik outsourcing tidak boleh melanggar prinsip keadilan. Dalam pernyataannya, ia menegaskan:

“Outsourcing masih diizinkan, tapi tidak boleh untuk pekerjaan inti. Pemerintah berkomitmen menindak pelanggaran yang merugikan pekerja.” Pernyataan ini dapat ditemukan pada siaran pers Kementerian Ketenagakerjaan RI bertanggal 1 Maret 2023.

Langkah Jika Merasa Dirugikan

Bila ditemukan pekerja yang merasa dirinya dirugikan dengan dipekerjakan secara outsourcing untuk pekerjaan inti atau pun mengalami pelanggaran hak, berikut langkah yang bisa ditempuh:

1. Siapkan bukti: kumpulkan dokumen atau surat yang berkaitan dengan kontrak kerja, penempatan, slip gaji, dan dokumentasi pekerjaan.

2. Konsultasi ke serikat pekerja atau langsung ke Dinas Ketenagakerjaan setempat.

3. Ajukan pengaduan resmi agar segera dilakukan mediasi tripartit antara pekerja, vendor, dan user.

4. Jika tahapan tersebut gagal, lakukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Kasus pekerja dengan status outsourcing yang berhasil menuntut jaminan pengangkatan sebagai karyawan tetap umumnya memiliki pola yang sama: mereka mampu membuktikan bahwa pekerjaan mereka adalah inti dan telah dilakukan secara terus menerus tanpa ada batas waktu yang jelas. Salah satu contoh adalah kasus di Mahkamah Agung dengan No. 100 K/Pdt.Sus-PHI/2021 yang pada intinya memutuskan pekerja outsourcing berhak diangkat menjadi pegawai tetap karena pekerjaannya nampak bersifat inti dan dilakukan secara terus menerus.

May Day, 1 Mei 2024, salah satu tuntutan utama para buruh dalam sistem outsourcing, mendesak pemerintah untuk melakukan:

1. Total larangan sistem outsourcing untuk pekerjaan inti.

2. Mengangkat pekerja outsourcing menjadi pegawai tetap jika bekerja di posisi esensial.

Selain gerakan masif di May Day kemarin, beberapa gerakan lewat sosial media juga gencar disuarakan seperti kampanye #StopOutsourcing yang dimotori oleh komunitas pekerja muda yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran publik terhadap isu ini.

Saatnya Pekerja Melek Hukum

Pekerja dan buruh di Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Di tengah laju kerja yang fleksibel dan tekanan efisiensi dari industri, praktik outsourcing tak jarang malah dimanfaatkan untuk memperlemah posisi tawar pada buruh pekerja. Harapan akan tetap ada. Di era keterbukaan informasi dan digital, kesadaran pekerja semakin nampak dan berani untuk menyuarakan haknya menuju kebenaran. Contohnya yaitu, inisiatif seperti adanya LBH Sarbumusi (Lembaga Bantuan Hukum Serikat Buruh Muslimin Indonesia), Badan Otonom Nahdlatul Ulama (Banom NU) yang baru-baru ini aktif melakukan kampanye sosial media dan mendirikan posko bantuan hukum,

Eksistensi lembaga ini beserta lembaga bantuan hukum lainnya menjadi bukti bahwa keadilan hukum dalam ketenagakerjaan di Indonesia masih ada.
Outsourcing memang tidak otomatis ilegal. Namun, pekerja wajib tahu batasan legalnya. Jangan sampai Anda telah bekerja keras seperti mengabdi, tapi tidak mendapatkan perlindungan kesejahteraan karena terjebak dalam sistem outsourcing yang tidak mensejahterakan.

Pahami kontrak kerja dalam sistem outsourcing. Anda boleh tanyakan kejelasan status dengan perusahaan atau vendor, apakah pekerjaan Anda termasuk pekerjaan inti atau pekerjaan penunjang. Jika perlu, mintalah pendampingan dari serikat atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) terdekat. Karena ketika pekerja sudah melek hukum, tidak ada lagi ruang untuk mempermainkan nasib buruh dengan alasan efisiensi.

Oleh : Mohammad Abdul Jabbar

Paralegal Lembaga Bantuan Hukum Serikat Buruh Muslimin Indonesia (LBH Sarbumusi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *