JAKARTA – Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sudah terbukti menjadi instrumen yang bermanfaat untuk mitigasi bencana alam serta ketahanan pangan. Masyarakat di Wonogiri, Jawa Tengah, hingga peneliti di laboratorium riset di California, Amerika Serikat, menjadi saksinya.
Di Wonogiri, tim peneliti dari UGM menghadirkan G-Connect Project yang digerakkan AI untuk mitigasi bencana. Sungguh pencapaian yang patut diapresiasi lantara Kabupaten Wonogiri dulunya dikenal sebagai daerah yang sulit dijangkau oleh teknologi — bahkan untuk mendapatkan sinyal ponsel pun menjadi tantangan tersendiri. Namun, melalui proyek G-Connect, Woogiri kini memiliki sistem mitigasi bencana berbasis AI yang dibangun bersama komunitas lokal.
Dengan memasang lebih dari 30 sensor tanah di titik-titik rawan longsor, data pergerakan tanah dikirim melalui jaringan solar-powered ke platform cloud Microsoft Azure. Data tersebut kemudian divisualisasikan secara sederhana melalui Power BI dan ditampilkan di kantor desa, masjid, poskamling, bahkan sekolah dasar.
Masyarakat, termasuk anak-anak, diajarkan cara membaca pola pergerakan tanah di dashboard tersebut untuk memahami apakah kondisi saat itu aman atau menunjukkan tanda bahaya. “Kalau grafiknya konsisten, berarti tanahnya aman. Tapi kalau polanya mulai berubah, berarti ada pergerakan. Warga sudah bisa baca itu sendiri sekarang,” ujar Mardhani Riasetiawan, Associate Professor di Departemen Ilmu Komputer dan Elektronika FMIPA UGM dan Ketua Tim G-Connect melalui siaran pers yang diterima Kabarjatim.com, Jumat (2/5/2025).
Peringatan dini pun disampaikan secara human-centered, dengan pendekatan berbasis komunitas agar tidak menimbulkan kepanikan. Alih-alih menggunakan sirine, sistem peringatan dikirimkan ke relawan di setiap RT, yang kemudian menyampaikan informasi melalui pengeras suara masjid atau grup WhatsApp. Setiap rumah juga diberi penanda warna — hijau, kuning, merah — untuk memudahkan proses evakuasi berdasarkan tingkat risiko.
“Waktu itu pernah 33 sensor kami terkubur karena longsor. Tapi justru itu bukti bahwa sistemnya bekerja. Bahkan, pernah ada warga yang sempat mendapat peringatan 7 menit sebelum longsor, dan itu menyelamatkan 15 orang,” ucap Mardhani.
Kini, G-Connect tengah mempelajari pemanfaatan AI lebih lanjut untuk mengembangkan model prediksi. Tim mereka mengikuti pelatihan elevAIte Indonesia untuk meningkatkan keterampilan teknis, terutama dalam machine learning dan penggunaan Copilot Studio. Ke depannya, mereka ingin membangun sistem prediksi berbasis AI dan sedang mengeksplor penyajian data serta cara komunikasi yang lebih cepat sekaligus mudah dipahami oleh masyarakat, seperti menyajikan data melalui chatbot lokal berbasis Bahasa Jawa.
Sementara itu, nun jauh di California, Ester Rosdiana Sinaga asal Sumatera Utara bergelut mengembangkan AI untuk ketahanan pangan di Indonesia. Peneliti dan mahasiswa studi Magister Hortikultura dan Agronomi itu tumbuh di keluarga petani di Sumatera Utara, dan sejak awal sudah terbiasa mendengar obrolan orang tuanya tentang perubahan iklim yang memengaruhi pola tanam dan produktivitas lahan. Dari kuliah di bidang bioproses hingga pengalaman riset pengelolaan limbah, keterlibatannya dalam isu lingkungan membentuk ketertarikannya pada pertanian berkelanjutan dan konservasi tanaman herbal.
Setelah bekerja di pusat riset hortikultura dan herbal di Sumatera, Ester merasa ada kesenjangan dalam pengetahuan praktis soal budidaya tanaman. Ia kemudian melanjutkan studi ke UC Davis, Amerika Serikat (AS) — salah satu universitas terbaik dalam bidang pertanian. Di sanalah ia mendalami hortikultura, tanaman pangan dan obat-obatan, serta konservasi spesies tropikal yang di Indonesia justru makin terancam.
“Saya melihat langsung bagaimana tanaman seperti pisang, kopi, dan kakao yang biasa saya lihat di Indonesia, justru diperlakukan sebagai tanaman konservasi di sini. Itu menyadarkan saya bahwa konservasi tanaman kita punya urgensi yang besar,” ujar Ester.
Penelitiannya kini mencakup analisis tanaman yang ditanam oleh diaspora Indonesia di AS — riset yang ia yakini bisa menjadi dasar untuk mengidentifikasi varietas tahan iklim ekstrem dan mendukung diversifikasi pangan di Indonesia.
Lebih dari itu, risetnya juga mencakup aspek sosial, seperti peran perempuan dalam pertanian dan kesehatan keluarga. “Di sini, meskipun kedua pasangan bekerja dan memiliki pendidikan yang setara, perempuan tetap yang paling memahami soal pangan dan tanaman obat. Ternyata pola ini terbawa dari Indonesia — dan itu menarik untuk dikaji,” ujarnya.
Tanpa latar belakang IT, Ester belajar coding untuk mendukung analisis genetika dan genomik tanaman. Dalam prosesnya, AI ia gunakan sebagai co-pilot untuk troubleshooting error, mempercepat proses analisis, dan membantu membuat visualisasi data. Dalam kesehariannya, ia juga memanfaatkan AI untuk menyusun materi presentasi dan menghemat waktu.
“AI bukan untuk menggantikan peneliti, tapi mendampingi. Saya tetap pakai pemikiran sendiri, tapi AI bisa bantu saya mencari sudut pandang baru atau mengecek hal-hal teknis yang sering luput,” jelasnya.
Ester juga melihat potensi besar AI untuk pertanian Indonesia — dari sensor tanah dan drone monitoring, prediksi cuaca, hingga diagnosis penyakit tanaman lewat aplikasi. Menurutnya, AI bisa membantu petani menghemat waktu, biaya, dan sumber daya yang selama ini terbuang karena kesalahan diagnosis atau pola tanam tradisional yang sudah tak relevan.
“Kalau di sini (Amerika Serikat), petani bisa foto tanaman dan langsung tahu penyakit dan solusinya dari aplikasi. Bayangkan kalau itu ada di Indonesia — betapa banyak pupuk dan pestisida yang bisa dihemat, dan petani mendapatkan kepastian panen yang lebih baik,” katanya.
Ia berharap hasil risetnya bisa dibawa pulang ke Indonesia dan diadaptasi oleh petani lokal, sembari mendorong lebih banyak generasi muda dan perempuan untuk terlibat di sektor pertanian. Ester percaya, pertanian masa depan butuh kombinasi antara ilmu, teknologi, dan partisipasi sosial. “AI akan lebih inklusif kalau kita buat sistem yang mudah digunakan, bahkan oleh petani yang tak terbiasa dengan teknologi. Itu PR kita bersama,” tuturnya.
Menjadi Changemaker di Era AI
Kecerdasan buatan (AI) kini menjadi teknologi kunci dalam mendorong upaya keberlanjutan di berbagai sektor. Dari memprediksi cuaca ekstrem, mengelola sumber daya alam secara efisien, hingga mempercepat penemuan material ramah lingkungan—AI dapat membantu menciptakan solusi yang lebih cepat dan tepat dalam menghadapi krisis iklim.
Di sisi lain, keberadaan talenta yang fasih AI pun menjadi kian penting agar Indonesia dapat memaksimalkan penggunaan teknologi dalam meningkatkan resiliensi bangsa terhadap perubahan iklim. Untuk itu, Microsoft, Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) RI, dan 22 mitra (per April 2025), berupaya membekali 1 juta talenta Indonesia dengan keterampilan AI secara inklusif melalui insiatif elevAIte Indonesia, agar masyarakat mampu menciptakan solusi yang relevan dan aplikatif untuk tantangan yang dihadapi di komunitas masing-masing.
Cerita Ester dan G-Connect di atas lahir dari program elevAIte Indonesia, yang hingga kini telah melatih lebih dari 735 ribu peserta di seluruh Indonesia. Program ini menjangkau berbagai kalangan, mulai dari pelajar, ASN, guru, pelaku UMKM, hingga petani dan komunitas adat, dengan pendekatan yang inklusif dan kontekstual, elevAIte Indonesia fokus pada bagaimana AI bisa menjadi solusi nyata bagi tantangan lokal yang dihadapi masyarakat Indonesia sehari-hari.
“Teknologi AI tidak hanya membuka peluang baru, tetapi juga mengubah cara kita bekerja dan berinovasi. Namun, manfaat AI baru dapat dirasakan sepenuhnya jika masyarakat memiliki keterampilan yang tepat untuk menggunakannya,” ujar Arief Suseno, AI National Skills Director, Microsoft Indonesia.