JAKARTA – Menjelang Hari Raya Idul Fitri 2025, Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan akan mengumumkan pemberian amnesti kepada 19 ribu narapidana.
Anggota Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PKB Mafirion meminta langkah tersebut dilakukan hati-hati dan tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku.
“Pemberian amnesti kepada narapidana harus dilakukan dengan konsep rehabilitatif, namun juga perlu memperhatikan Undang-Undang apa saja yang menjerat para narapidana hingga masuk penjara,” ujar Mafirion dalam Rapat Kerja Komisi III DPR dengan Menteri Hukum.
Untuk diketahui awalnya, terdapat 44.589 narapidana yang diusulkan untuk mendapatkan amnesti, namun setelah melalui proses verifikasi dan assessment, hanya 19.337 narapidana yang memenuhi syarat. Pemberian amnesti ini dimaksudkan untuk mengembalikan para narapidana ke tengah masyarakat dan menghapuskan pidana yang telah dilakukan.
Mafirion menegaskan bahwa pemberian amnesti harus didasarkan pada instrumen yang akurat untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, serta keseimbangan antara kepentingan hukum, hak korban, dan aspek kemanusiaan. Ia juga mengingatkan agar pemberian amnesti tidak tumpang tindih dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang akan berlaku mulai 1 Januari 2026.
“Misalnya, pemberian amnesti kepada narapidana kasus makar jangan sampai berbenturan dengan KUHAP baru. Harus direview kembali apakah KUHAP itu ada pasal makar atau tidak, dan apakah hal ini akan menimbulkan permasalahan baru,” jelas Mafirion.
Selain itu, Mafirion meminta agar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melakukan telaah ulang terhadap beberapa undang-undang terkait, seperti UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan UU ITE. Ia mencontohkan, dalam UU Narkotika, pemakai narkotika dengan jumlah maksimal 1 gram seharusnya direhabilitasi secara medis dan sosial, bukan dijadikan narapidana.
“Begitu juga dengan UU ITE. Jika dalam usulan pemberian amnesti terdapat narapidana yang dijerat karena menghina presiden atau wakil presiden, perlu dipastikan bahwa ke depan tidak ada lagi undang-undang yang mengatur hal serupa. Jangan sampai hal ini terulang dan membuat lapas kembali over kapasitas,” tegas Mafirion.
Mafirion mendesak Kemenkumham mengkaji ulang aturan dan perundang-undangan sebelum pemberian amnesti dilaksanakan. Hal ini penting untuk menghindari tumpang tindih aturan dan memastikan bahwa pemberian amnesti tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
“Kami mendukung upaya pemerintah dalam memberikan amnesti sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun, hal ini harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakadilan atau pelanggaran hukum di masa depan,” katanya.