SUMENEP: Wacana penghapusan BBM dengan oktan rendah sudah mencuat sejak lama. Kebijakan penghentian jenis produksi BBM RON di bawah 90 itu bahkan sudah dicoba di beberapa wilayah, seperti Jawa, Bali, dan Madura.
Meski harus dilonggarkan lagi, pengetatan distribusi BBM beroktan rendah itu diyakini berdampak pada penguatan kualitas lingkungan. Produk BBM dengan nilai oktan di atas 90 akan menjadi awal penggunaan BBM ramah lingkungan.
Demikian dijelaskan oleh Ketua Umum Front Pemuda Madura (FPM), Asip Irama, saat membuka kegiatan webinar bertajuk “Menghapus BBM Ron Rendah: Siasat Energi Ramah Lingkungan Menuju Net-Zero Emission” pada Rabu (7/9) sore melalui platform zoom meeting. Webinar itu diikuti oleh lebih dari seratus partisipan dari beragam latar belakang.
Dalam sambutannya, Asip menyinggung soal dampak penggunaan BBM RON rendah yang menghasilkan gas buang buruk terhadap lingkungan. Emisi asap kendaraan pengguna BBM beroktan rendah memicu polutan yang menurunkan kualitas ekologi.
Penggunaan BBM RON rendah, kata Asip, tidak memenuhi ketentuan regulasi bidang lingkungan, sebagaimana Permen KLHK No P20/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O. Pasal 3 ayat (2) Permen KLHK menetapkan BBM jenis bensin yang diperbolehkan minimal oktan 91.
“Selama ini, masyarakat kurang awas pada potensi penuruan kualitas lingkungan akibat gas emisi yang dihasilkan dari bensin beroktan rendah. Kecenderungan pengguna memakai BBM RON rendah karena harga murah yang disubsidi negara,” kata dia.
“Padahal, distribusi BBM subsidi jelas tidak tepat sasaran. Ada sekitar 70 persen dari pengguna BBM subsidi adalah orang yang mampu. Karena itu, skema subsidi BBM perlu dikaji dan diatur ulang. Penghentian pasokan produk BBM oktan 89 dan 90, menurut saya, menjadi salah satu alternatif paling mungkin,” lanjut Asip.
Kepongahan Intelektual
Sekretaris Jenderal Himpunan Aktivis Milenial, Muchlas J Samorano, menjelaskan, terdapat fakta paradoks antara kepedulian lingkungan kalangan milenial dan generasi Z terhadap respon kenaikan harga BBM.
“Kepedulian milenial dan generasi Z sangat besar terhadap isu lingkungan. Berdasarkan sejumlah survei, 77% lebih milenial dan generasi Z memiliki concern terhadap diskursus lingkungan. Tetapi, khusus isu BBM, justru sebagian dari mereka abai,” terang dia.
Gelombang demonstrasi, lanjut Muchlas, hanya tampak seperti parade protes yang minus data. Menurut Muchlas, demonstran kurang melek data soal distribusi BBM subsidi yang justru dinikmati orang mampu. Bagi Muchlas, aksi protes yang tak cukup data adalah kepongahan intelektual.
“Bahkan, demonstran yang adalah kalangan muda-milenial, tampak tidak peduli pada potensi kerusakan lingkungan akibat penggunaan BBM beroktan rendah. Padahal, bensin RON rendah akan menimbulkan kerugian berganda yang cukup serius terhadap lingkungan, kesehatan, dan ekonomi,” kata dia.
Karena itu, bagi Muchlas, pengalihan alokasi subsidi bisa jadi skema yang bisa diambil dari rencana penghpusan BBM Premium dan Pertalite. Subsidi BBM dialihkan pada subsidi non-energi, seperti pupuk, benih, dan pangan untuk mengendalikan inflasi. Dana subsidi juga bisa dialihkan sebagai pendanaan percepatan pembangunan.
“Skema kedua, pemerintah harus lebih detail membuat produk regulasi, misalnya melalui Peraturan Presiden atau Perpres, untuk memudahkan masyarakat miskin mengakses jenis BBM subsidi supaya tepat sasaran,” tutup Muchlas.