JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengutuk keras pengukuran paksa tanah warga Desa Wadas, Kecamatan Bener, Purworejo, Jawa Tengah yang dilakukan oleh BPN Purworejo. Lebih-lebih pengukuran tersebut disertai pengawalan ketat ribuan aparat.
Selain itu juga terjadi dugaan tindakan intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga Desa Wadas beserta para pendamping. Dari 67 orang yang ditangkap terdiri dari seniman, pendamping hukum, kawan solidaritas dan 60 warga desa (di antaranya terdapat perempuan, lansia dan 13 anak-anak di bawah umur). “Penangkapan dilakukan tanpa prosedural yang jelas,” ujar Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika, melalui siaran pers, Rabu (9/2/2022).
Dewi menyebutkan, berdasarkan rilis Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) yang diterima, sejak Senin, (7/2), aparat kepolisian telah mendekati wilayah desa dengan mendirikan tenda di Lapangan Kaliboto yang berada di belakang Polsek Bener. Malam harinya terjadi pemadaman listrik, sementara desa-desa sekitarnya masih tetap menyala.
Selasa, (8/2), sejak pagi ribuan aparat kepolisian memasuki desa untuk mengawal proses pengukuran yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Purworejo. Aparat keamanan mencopot berbagai poster yang berisikan penolakan terhadap rencana pertambangan.
Mereka juga mengepung dan menangkap warga yang sedang melakukan mujahadah di Masjid yang berada di Dusun Krajan. Mendatangi Ibu-ibu di posko-posko jaga, merampas besek, pisau dan peralatan untuk membuat besek yang merupakan kegiatan wadon Wadas dalam menjaga kebudayaan lokal.
Tidak hanya itu, aparat kepolisian juga merazia telepon genggam dan memasuki rumah-rumah warga tanpa seizin pemilik rumah, diiringi bentakan dan makian. Padahal, banyak perempuan, lansia, dan anak-anak pada saat itu berada dalam rumah.
“Hal ini mengakibatkan ketakutan dan trauma, hingga anak-anak tidak mau berangkat sekolah. Upaya intimidasi ini bukanlah yang pertama dialami oleh warga Desa Wadas, Pada 23 April 2021, aparat kepolisian juga melakukan tindakan serupa terhadap warga,” ujar Dewi.
Konflik agraria ini berawal dari dalih pembangunan atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN), pemerintah menjadikan Desa Wadas sebagai lokasi penambangan batuan andesit. Penambangan tersebut untuk mendukung proyek pembangunan Bendungan Bener. Proyek seluas 124 hektar tersebut merupakan salah satu proyek pembangunan yang masuk ke dalam PSN.
Penolakan warga bukan tanpa sebab, bukan pula karena anti pembangunan. Namun proses pembangunan ini diduga sarat manipulasi dan menabrak berbagai peraturan perundang-undangan, korup dan disertai kekerasan. Padahal berdasarkan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum Bagi Pembangunan, aktivitas pertambangan tidak masuk dalam bagian kepentingan umum.
Namun, Pemerintah mengacu pada UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya yang inkonstitusional, menggunakan skema pengadaan tanah untuk kepentingan umum terhadap kegiatan pertambangan. Maka dalam hal ini, Pemerintah telah sesat berlogika hukum dan melakukan suatu tindakan melawan hukum. Sebab melalui Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang pada poin 7 memutuskan bahwa Pemerintah harus menangguhkan segala kegiatan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas akibat UU Cipta Kerja.
“Kami menilai, apa yang terjadi di Wadas bukan lagi proses pembangunan PSN yang seharusnya dilakukan dengan menjunjung tinggi hak-hak konstitusi warga negara, mengedepankan prinsip musyawarah. Akan tetapi peristiwa ini sudah mengarah kepada tindakan perampasan tanah rakyat yang bersifat memaksa dengan dalih proyek-proyek pembangunan strategis untuk kepentingan nasional. Telah terbukti bahwa pengadaan tanah bagi PSN berdampak pada peningkatan perampasan tanah di berbagai wilayah,” ujar Dewi.
Berdasarkan situasi di atas, KPA mendukung sepenuhnya perjuangan warga Desa Wadas dan mengutuk keras tindakan pemerintah bersama aparat keamanan. Sebab itu, KPA mendesak kepada:
1. Kapolda Jawa Tengah segera menginstruksikan seluruh jajarannya agar menghentikan tindakan intimidasi dan kekerasan di lapangan, serta menarik mundur seluruh aparat kepolisian dari Desa Wadas;
2. Kapolres Purworejo segera membebaskan seluruh warga dan pendamping yang ditangkap saat mempertahankan hak atas tanah;
3. Kapolri segera mengusut tuntas berbagai tindakan pelanggaran yang dilakukan aparat kepolisian di Desa Wadas, serta segera mengevaluasi peran dan keterlibatan aparat kepolisian dalam penanganan konflik agraria;
4. Gubernur Jawa Tengah menghentikan segala kegiatan penambangan dan proyek pembangunan Bendungan Bener yang dilakukan dengan cara merampas tanah dan ruang hidup warga;
5. Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSO) dan Kantor Pertanahan Purworejo segera menghentikan proses pengukuran paksa tanah warga untuk kepentingan pembangunan Bendungan Bener;
6. Presiden harus memastikan seluruh pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN) tidak menghilangkan hak-hak rakyat atas tanah dan ruang hidup mereka; dan
7. Menghentikan model dan proyek-proyek pembangunan yang kontraproduktif dengan komitmen agenda Reforma Agraria.
“Kami mengimbau kepada seluruh pihak untuk menyatukan sikap dan dukungan terhadap perjuangan warga Desa Wadas mempertahankan hak atas tanah mereka.”