SURABAYA-Santri pesantren salaf Nahdlatul Ulama adalah “sel tidur” mujahidin paling potensial. Hari ini, mereka bergerak dalam diam, dalam ruang kajian ilmiah. Namun, mereka akan pasang badan mempertahankan rumah bernama Indonesia. Sebab, mereka dididik untuk mencintai Islam dan tanah airnya.
“Para Santri NU adalah sosok yang memilih melakukan jihad ilmiah melalui ngaji, ngaji, dan ngaji,” kata Rijal Mumazziq, Rektor Institut Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah (Inaifas) Kencong, Jember, Jumat (17/12/2021), seperti dikutip di NU online.
Ia pun mengungkapkan alasan mengapa santri pesantren NU sulit didoktrin untuk menjadi teroris. Yang pertama menurutnya adalah karena kurikulum yang diterapkan di pesantren. Para santri di pesantren NU sudah dimodali dengan pelajaran dan kajian fiqih siyasah dan fiqih jihad setelah melalui kajian fiqih thaharah, ibadah, muamalah dan munakahat. “Dalam kurikulum di pesantren, bab jihad dikaji dengan tetap menyertakan konteks. Ibarat jurus pamungkas, kajian jihad dikaji dengan menyertakan fadhilah dan illat (legal ratio) tindakan tersebut,” ungkapnya.
Ia memberi contoh ketika mengkaji peristiwa Perang Badar dan berbagai ekspedisi militer Rasulullah, Perang Salib, jihadnya para pahlawan nasional, hingga Resolusi Jihad 1945, para ulama pesantren menyertakan pula alasan-alasan rasional yang menyertainya kepada para santrinya. Ibarat dokter, para kiai mampu menjelaskan jenis penyakit, pola penanganannya, dosis obatnya, serta kondisi fisik pasien.
“Para ulama pesantren tetap membahas jihad dan fadhilah-nya dengan berbagai tinjauan. Sebab, kalau muatan keilmuan ini tidak dibahas alias dihilangkan, dikhawatirkan para santri malah belajar kepada figur yang tidak tepat. Kalau sudah salah berguru, bisa berbahaya,” jelasnya. Bedasar data yang ia miliki ia mengungkapkan, di beberapa negara timur tengah, terdapat negara yang demi stabilitas nasional tidak memperbolehkan kajian mengenai jihad. Dampaknya, generasi muda yang bersemangat malah belajar topik ini secara diam-diam dan dari figur yang keras dan ekstrem. Akhirnya, bibit-bibit pemberontak tumbuh atas nama jihad.
Alasan kedua santri tak bisa dijadikan teroris lanjutnya adalah karena di banyak pesantren NU, para santri diajari untuk mencintai tanah airnya. Nusantara Indonesia adalah Ibu Pertiwi yang harus dijaga. Indonesia adalah sebuah rumah yang dicintai dalam suka-duka dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
“Ini berbeda dengan beberapa kajian di kelompok lain yang melihat Indonesia bukan sebagai Ibu Pertiwi, melainkan sebagai Bumi Jihad maupun Darul Harb.
Anggapan ini berpotensi meledakkan kesadaran untuk melakukan tindakan kekerasan atas nama jihad fi sabilillah,” terangnya.
Alasan ketiga mengapa santri NU tak bisa jadi teroris adalah koneksi antar jejaring para ulama. Sebelum memutuskan apakah sudah saatnya berjihad fi sabilillah, biasanya para ulama melakukan istikharah dan musyawarah terlebih dahulu. Jika sudah ada “isyarat langit” dan syarat jihad terpenuhi, maka komando jihad bisa dilaksanakan serentak.
“Hal ini, misalnya, terbukti dalam Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang berdampak pada peristiwa 10 November 1945 hingga Palagan Ambarawa di Semarang. Dengan demikian, jejaring para ulama bukan hanya berkorelasi di bidang keilmuan saja, melainkan juga pada aspek perjuangan keislaman dan kebangsaan. Apabila para ulama yang tergabung dalam jejaring ini bilang A, maka santri pun akan mengiyakan,” pungkasnya.